Aktivis perempuan ketika masih berstatus single. Belum nikah dan belum punya anak. Tentu saja sangat beda kondisinya dengan perempuan yang sudah nikah apalagi yang sudah punya anak. Sangat beda sekali.
Ketika aktivis perempuan belum nikah. Tentu saja memiliki kesempatan dan waktu luang yang lebih banyak dari pada perempuan yang sudah menikah. Sebagai seorang istri tentu saja harus mendapatkan izin dari suami ketika harus berperan di luar rumah. Tugas dan tanggung jawab dalam rumahpun harus beres. Kalau tida, maka bisa menjadi sumber ketidakharmonisan keluarga. Betul khan? Masa' mau berperan di luar rumah, urusan rumah tangga sendiri tidak beres.
Olehnya, itu ketika seorang perempuan yang berstatus istri harus sering-sering keluar rumah. Karena merupakan pengurus dari organisasi perempuan. Saya kurang setuju. Karena seorang istri punya tanggung jawab besar dalam rumah tangganya. Bukan cuma urusan dapur, sumur juga. Tetapi ternyata suami juga sebenarnya tidak suka ditinggal-tinggalkan. Mereka ingin lihat istrinya senantiasa mendampinginya. Perasaannya sangat senang ketika istri berada di rumah. Bukannya mereka mengekang sang istri bukan itu. Tapi, seperti pepatah, rumahku adalah surgaku. Bagaimana rumah menjadi surga, padahal sang bidadari tidak ada di samping. Nelangsa bukan?
Seperti yang diungkapkan oleh seorang tokoh wanita, kita ini sementara berjuang, bukan cuma untuk keluarga, tetapi juga untuk masyarakat. Saya sangat sepakat. Tetapi, keluarga tetaplah mesti menjadi prioritas bagi seorang istri atau seorang ibu. Ketika seorang istri atau ibu lebih aktif dalam organisasinya maka tentu saja hal ini mengakibatkan ketimpangan dalam rumah tangga. Efeknya bisa fatal, suami merasa tidak diperhatikan, dan bisa saja suami memboikot seorang istri yang lebih mementingkan urusan organisasinya di luar. Tentu saja kita tidak mengharapkan demikian bukan.
Tentu saja, keadaan dan kondisi seorang perempuan berbeda-beda. Bisa jadi ada seorang perempuan yang berstatus istri sudah bebas dari tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Karena memiliki pembantu yang mengurusi tetek bengek urusan rumah tangga. Anak-anaknya sudah besar atau pun tidak memiliki anak kecil yang masih butuh perhatian lebih dari ibundanya. Tetapi ada juga perempuan yang segala sesuatu urusan rumah tangga, ia harus urus sendiri. Mulai dari cuci piring, cuci pakaian, masak dan bersih-bersih rumah. Belum lagi kalau mereka punya anak kecil. Seperti tidak ada habis-habisnya pekerjaan. Dari mulai bangun sampai tidur kembali.
Kondisi yang agak berat, sebenarnya. Apalagi mesti aktif lagi berorganisasi. Tapi, seorang perempuan butuh tempat untuk mengaktualisasikan dirinya. Bertemu dengan sahabat-sahabat yang bisa saling menguatkan. Tidak ada larangan sebenarnya untuk aktif organisasi. Selama bisa menyesuaikan dengan keluarga. Sama sekali tidak. Tetapi kalau mesti sering-sering keluar. Rapat ini rapat itu, padahal tema rapat tidak terlalu penting untuk bertatap muka. Dan, bisa saja lewat group massanger atau WA. Kenapa tidak. Kita bisa memanfaatkan teknologi yang super canggih itu.
Jadi, pada dasarnya seorang perempuan yang berstatus seorang istri atau ibu itu basisnya adalah rumah. Seorang perempuan mesti sering membaca. Membaca Al Qur'an dan juga buku-buku lainnya. Agar pemahamannya bertambah dan wawasannya terbuka. Agar tidak terkena pepatah yang mengatakan bagaikan katak dalam tempurung. Berawal dari rumah kita tebarkan kebaikan ke seluruh penjuru dunia. Teringat bunda Maryam as dan bunda Fatimah AzZahra, mereka lebih sering di rumah. Tetapi derajat mereka sangat mulia di sisi Tuhan. Mereka adalah para perempuan penghuni surga.
Free writing 2
Ketika aktivis perempuan belum nikah. Tentu saja memiliki kesempatan dan waktu luang yang lebih banyak dari pada perempuan yang sudah menikah. Sebagai seorang istri tentu saja harus mendapatkan izin dari suami ketika harus berperan di luar rumah. Tugas dan tanggung jawab dalam rumahpun harus beres. Kalau tida, maka bisa menjadi sumber ketidakharmonisan keluarga. Betul khan? Masa' mau berperan di luar rumah, urusan rumah tangga sendiri tidak beres.
Olehnya, itu ketika seorang perempuan yang berstatus istri harus sering-sering keluar rumah. Karena merupakan pengurus dari organisasi perempuan. Saya kurang setuju. Karena seorang istri punya tanggung jawab besar dalam rumah tangganya. Bukan cuma urusan dapur, sumur juga. Tetapi ternyata suami juga sebenarnya tidak suka ditinggal-tinggalkan. Mereka ingin lihat istrinya senantiasa mendampinginya. Perasaannya sangat senang ketika istri berada di rumah. Bukannya mereka mengekang sang istri bukan itu. Tapi, seperti pepatah, rumahku adalah surgaku. Bagaimana rumah menjadi surga, padahal sang bidadari tidak ada di samping. Nelangsa bukan?
Seperti yang diungkapkan oleh seorang tokoh wanita, kita ini sementara berjuang, bukan cuma untuk keluarga, tetapi juga untuk masyarakat. Saya sangat sepakat. Tetapi, keluarga tetaplah mesti menjadi prioritas bagi seorang istri atau seorang ibu. Ketika seorang istri atau ibu lebih aktif dalam organisasinya maka tentu saja hal ini mengakibatkan ketimpangan dalam rumah tangga. Efeknya bisa fatal, suami merasa tidak diperhatikan, dan bisa saja suami memboikot seorang istri yang lebih mementingkan urusan organisasinya di luar. Tentu saja kita tidak mengharapkan demikian bukan.
Tentu saja, keadaan dan kondisi seorang perempuan berbeda-beda. Bisa jadi ada seorang perempuan yang berstatus istri sudah bebas dari tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Karena memiliki pembantu yang mengurusi tetek bengek urusan rumah tangga. Anak-anaknya sudah besar atau pun tidak memiliki anak kecil yang masih butuh perhatian lebih dari ibundanya. Tetapi ada juga perempuan yang segala sesuatu urusan rumah tangga, ia harus urus sendiri. Mulai dari cuci piring, cuci pakaian, masak dan bersih-bersih rumah. Belum lagi kalau mereka punya anak kecil. Seperti tidak ada habis-habisnya pekerjaan. Dari mulai bangun sampai tidur kembali.
Kondisi yang agak berat, sebenarnya. Apalagi mesti aktif lagi berorganisasi. Tapi, seorang perempuan butuh tempat untuk mengaktualisasikan dirinya. Bertemu dengan sahabat-sahabat yang bisa saling menguatkan. Tidak ada larangan sebenarnya untuk aktif organisasi. Selama bisa menyesuaikan dengan keluarga. Sama sekali tidak. Tetapi kalau mesti sering-sering keluar. Rapat ini rapat itu, padahal tema rapat tidak terlalu penting untuk bertatap muka. Dan, bisa saja lewat group massanger atau WA. Kenapa tidak. Kita bisa memanfaatkan teknologi yang super canggih itu.
Jadi, pada dasarnya seorang perempuan yang berstatus seorang istri atau ibu itu basisnya adalah rumah. Seorang perempuan mesti sering membaca. Membaca Al Qur'an dan juga buku-buku lainnya. Agar pemahamannya bertambah dan wawasannya terbuka. Agar tidak terkena pepatah yang mengatakan bagaikan katak dalam tempurung. Berawal dari rumah kita tebarkan kebaikan ke seluruh penjuru dunia. Teringat bunda Maryam as dan bunda Fatimah AzZahra, mereka lebih sering di rumah. Tetapi derajat mereka sangat mulia di sisi Tuhan. Mereka adalah para perempuan penghuni surga.
Free writing 2