Jumat, 17 Januari 2020

TOPENG


Saya pindahan dari kampung sebelah. Alhamdulillah, para tetangga baru saya orangnya baik dan ramah. Saya merasa beruntung sekali. Terutama tetangga saya, yang bernama Ratna. Saya cepat sekali merasa akrab dengannya. Suaminya bernama Hendra. Suaminya lulusan perguruan tinggi agama terkemuka di daerah ini. Sementara ini, ia mengambil program doktoral di kampus yang sama.
 Hendra sering diundang berceramah. Oleh ibu-ibu majelis taklim dan pengurus masjid di berbagai masjid di daerah kami. Sering pula diundang untuk memberikan kajian kepada sekelompok pemuda dari suatu organisasi. Tampaknya, jam terbangnya cukup tinggi. Dari hasil ceramahnya itu, ia bisa menghidupi anak dan isterinya.
 Hendra, masih muda, cukup ganteng dan energik. Tak pernah sekalipun ia menolak jika ia diundang untuk berceramah. Dalam membawakan ceramahnya ia sesuaikan dengan kondisi audiensnya. Ia pun menguasai beberapa bahasa daerah. Hendra sering menyelingi ceramahnya dengan berbahasa daerah tergantung jamaah yang dihadapinya. Ia pun kadang menyelipkan guyonan dalam penyampaian tauziahnya. Sehingga, jamaah sangat senang jika ia yang mengisi ceramah.
 Sebagai tetangga, saya menilai Hendra dan Ratna, pasangan yang serasi. Keduanya orang yang baik dan ramah, juga alim. Isterinya, Ratna pun lulusan sekolah tinggi agama. Sebelum ia menikah, ia seorang aktivis suatu organisasi. Ia juga sering membawakan kajian keperempuanan. Namun, karena Ratna ingin fokus merawat anak dan mengurus rumah tangga, ia sudah jarang melakukan aktivitasnya tersebut. Tak jarang ada undangan membawakan kajian namun ia tolak. Karena Ratna takut perhatian terhadap anak dan suaminya jadi berkurang.
 Rumah kami bersebelahan. Sehingga saya sering bertemu dengan Ratna. Kami berbelanja ikan atau sayur pada pagandeng sayur atau ikan yang sama. Saya pun menjadi akrab dengannya.

”Ada ma…ada ma..”teriak pagandeng sayur, bernama Daeng Bora’. 

 Itulah teriakan khas dari Daeng Bora’, dengan irama yang khas juga. Setiap ia datang membawa sayur-mayur segarnya. Sampai-sampai kami kadang tanpa sengaja meniru teriakan khasnya itu.
Tetangga yang mau beli sayur Daeng Bora’ serentak keluar dari rumah masing-masing. Termasuk, saya dan Ratna. Kami harus segera keluar, kalau tidak, Daeng Bora’ akan segera berlalu. Karena berpikir, tidak ada yang mau beli sayur hari itu.
 Satu per satu tetangga yang ingin membeli sayur dilayani oleh Daeng Bora’. Sambil menunggu pembeli lain dilayani. Saya sempatkan menyapa Ratna. Saya heran melihat di bagian sekitar matanya kelihatan menghitam. Saya mengajak Ratna agak menjauh dari tempat itu.

 “Ratna, kenapa itu di dekat matamu, Dek?” tanyaku ingin tahu.
 “Iyendak apa-apa ji, Kak,” jawab Ratna sambil tersenyum. Senyum yang tampak dipaksakan. Tampak kesedihan dari raut wajahnya yang cantik. Namun, sepertinya ia masih berusaha menutupi apa yang sedang terjadi. Jawabannya itu malah membuatku curiga. 
 “Bagaimana kamu bilang tidak apa-apa? Itu di sekitar matamu tampak memar ki.” Sergahku.
Iye, Kak. Nanti pi kuceritakan ki, tapi mau ka dulu beli sayur,” jawab Ratna.

Ratna kembali mendekat ke arah Daeng Bora untuk memilih sayur. Setelah membayar sayur dan pamit kepada saya, ia berlalu dan masuk ke dalam rumahnya. Saya masih terpaku di tempat yang sama.         
  
“Ibu, mau jaki beli sayur kah?” tanya Daeng Bora
“Eh, iye, Daeng. Mau ja kodong,” jawabku sambil tersenyum.

*************** 

Sejak ketemu Ratna tadi pagi, saya masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan Ratna. Saya tidak mau berpikir macam-macam. Biarlah nanti Ratna yang menceritakan sendiri masalahnya.
 Sehabis makan malam dan sholat Isya, saya istirahat. Baring-baring sambil buka hp. Sepertinya sudah banyak chat yang masuk di whattApp. Saya terkesiap. Ada chat dari Ratna. Ah. Sekarang, walaupun tetangga dekat. Sekarang berkomunikasinya lewat udara. Mungkin karena ini sudah era digital, yah.  Komunikasi semakin mudah. 
 Teringat jaman dulu, ada juga alat atau radio komunikasi (HT). Hampir setiap rumah ada alat seperti itu. Kalau digunakan kita akan memakai istilah: roger, ganti. Juga ada kata sandi seperti Alpha, Charlie, Romeo dan lain-lain. Zaman berganti, alat komunikasi pun silih berganti. Setelah telepon rumah, telepon genggam pun hadir dalam kehidupan. Mulai dari yang sederhana sampai yang tercanggih. Berbagai merek pun ditawarkan. Dari yang termurah sampai yang termahal. Komunikasi pun semakin lancar. 
 Jika tidak pandai-pandai membedakan antara keinginan dan kebutuhan, maka akan mudah terjerumus dalam jeratan konsumerisme. Setiap ada HP terbaru dan tercanggih, akan diburu untuk dibeli.  Padahal setiap waktu, akan muncul merek baru, seri baru dan tercanggih. Itu bagi yang berduit. Tetapi bagi yang hidupnya pas-pasan, jika sudah memiliki HP, yang bisa dipakai berkomunikasi dan memiliki fitur yang cukup bisa diandalkan, Alhamdulillah. Selagi kondisi masih bagus dan masih berfungsi dengan baik. Tidak perlu memikirkan untuk ganti-ganti HP lagi. Mubazir…
 Ketika saya membaca chat dari Ratna. Bercampur aduk perasaan yang berkecamuk di dadaku. Ia membeberkan kisah pernikahannya padaku. 

“Assalamu’alaikum, Kak. Sebenarnya saya mau menyimpan rahasia ini sendiri. Demi keutuhan rumah tangga kami. Saya pikir cukup saya yang tahu. Tetapi, setelah sekian lama memendam rahasia dan rasa sakit ini. Saya sudah tak kuasa lagi untuk menyimpannya sendiri. Saya ingin menumpahkan unek-unekku selama ini.  Kepada seseorang yang dapat kupercaya. Kebetulan tadi pagi, Kakak bertanya tentang bekas menghitam di wajahku.

Baiklah saya akan menceritakan tentang apa yang terjadi di dalam kehidupan rumah tangga kami. Rumah tangga yang kelihatan harmonis dan mungkin sempurna di mata orang lain.

 Suamiku, Hendra di mata semua orang mungkin suami yang baik. Seorang ustadz lagi. Seorang yang paham agama, apalagi seorang ustadz.  Pasti tahu bagaimana memperlakukan isterinya dengan baik.  Tapi, sesungguhnya sikap Hendra terhadap isterinya, saya. Sangat jauh berbeda. 

Suamiku, sesungguhnya orang yang sangat emosional. Ia mudah sekali tersinggung. Dan jika ia tersinggung, ia akan melontarkan kata-kata yang sangat kasar kepada saya. Ia sering mengatakan taik, bangsat dan kata-kata tidak etis lainnya kepadaku jika ia sedang marah. 

Jika ia marah, tak segan-segan ia melemparkan piring ke arah wajahku. Tak cukup hanya itu, ia bahkan pernah menyeretku ke kamar mandi dan menginjak kedua pahaku. Pernah ia juga membenturkan kepalaku ke dinding. Dan itu ia lakukan di depan anak-anak kami. Sehingga anak-anakku menjerit-jerit melihat perlakuan ayahnya kepada ibunya. Kadang, anak-anakku berdiri di hadapanku, agar ayahnya tidak melanjutkan perbuatan kasarnya kepadaku. Tapi, ia tak memedulikannya.

Kak, apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus meminta cerai kepada suamiku? Sedangkan suamiku itu pandai sekali bersandiwara di hadapan orang-orang. Berlagak suami yang baik. Tak tahunya, ia sering menganiaya isterinya sendiri. Jika aku bersaksi di hadapan pengadilan, mungkinkah hakim percaya. Karena, tak ada saksiku, Kak?”

Saya sudah tidak tahan, Kak".

***************

Membaca kisah Ratna melalui chatnya di WA, perasaanku bercampur aduk-aduk. Sedih, marah, dan syok. Sedih melihat kondisi Ratna yang memprihatinkan. Sering mengalami kekerasan fisik (tubuh) maupun non fisik (verbal-lisan) dari orang yang semestinya melindungi dan mengasihinya. Dan marah terhadap Hendra yang begitu kejam terhadap isterinya. Betapa keterlaluan perlakuannya terhadap isterinya. 
 Syok karena benar-benar tidak kusangka dan tak kuduga, Hendra selaku suami bisa berbuat kejam terhadap isterinya. Orangnya berilmu, sering pula membawakan ceramah dan kajian. Juga sangat ramah. Jika berpapasan, tak lupa ia tersenyum kepada kami. Bahkan kadang menyapa kami, para tetangganya. 
 Tapi, begitulah kenyataannya. Apa yang tampak, belum tentu itulah yang sebenarnya. Di balik kepribadian seseorang yang menyenangkan, bisa saja tersembunyi sesuatu yang mengerikan. Yang hanya orang yang terdekatnya saja yang mengetahui dan merasakannya.
Saya harus menolong Ratna. Itulah, tekadku. Bagaimana caranya? Yang pasti, saya harus mengabarkan kepada dunia.  Siapa Hendra sebenarnya. Di balik topeng “kesempurnaannya.” Agar Ratna bisa terbebas dari KDRT yang selama ini dilakukan oleh suaminya itu.

By : Hamsinah Hamid

Sumber foto : By Google

Senin, 13 Januari 2020

Kehamilan dan Kelahiran yang Berbeda: Anak Pertama



Proses kehamilan dan kelahiran setiap anak itu berbeda. Ada yang prosesnya mudah tanpa keluhan. Ada juga yang berat dengan berbagai keluhan yang menyertainya. Setiap ibu yang mempunyai beberapa orang anak rata-rata mengemukakan hal yang sama. Demikian pula dengan saya sebagai ibu dari empat orang anak, dua lelaki dan dua perempuan.
          Saya menikah umur 25 tahun, tepatnya 25 November 1999. Waktu itu, saya masih kuliah. Semua mata kuliah sudah kelar, tinggal KKN atau Kuliah Kerja Nyata. Saat menikah, suami masih berstatus pengurus suatu organisasi mahasiswa. Karena status suami sebagai ketua pada waktu itu, kami memutuskan untuk menunda memiliki momongan dulu. Agar suami bisa lebih fokus pada amanah yang diembannya.
Setelah kepengurusan suami selesai, tenyata kami masih belum dikaruniai anak.  Namun, kami masih bersabar. Mungkin Allah memberi kesempatan kepada kami untuk menikmati kebersamaan. Setelah ia lebih banyak berada di sekretariat dibandingkan bersama istrinya. Saya memaklumi posisinya. Karena kami berasal dari organisasi yang sama. Dan saya pun menjadi salah satu pengurus keputrian di organisasi yang sama, walaupun saya sebagai pengurus tidak maksimal karena waktu itu saya mengikuti KKN di Maros Utara.
Almarhum Bapak menyarankan agar saya segera berobat. Kata Bapak, siapa tahu saya bucicikang. Melihat kondisi saya yang belum menampakkan tanda-tanda berisi. Maklumlah kadang orangtua lebih khawatir dengan keadaan anaknya daripada si anak sendiri. Terima kasih Bapakku, sayang. Al Fatihah dan sholawat teriring untukmu, selalu.
Saya mengikuti saran Bapak. Dulu Bapak ingin sekali punya anak laki-laki. Namun dari tujuh anaknya tidak ada satu pun berjenis kelamin laki-laki. Semuanya perempuan. Ada sekelumit cerita tentang Bapak yang saat itu menantikan kelahiran anaknya. Waktu itu Bapak mendapat kabar bahwa adikku yang lahir adalah seorang laki-laki. Betapa gembira dan bahagianya Bapak waktu itu. Ia lalu membagi-bagikan uang kepada orang-orang yang berada di dekatnya.  Tetapi, ternyata yang lahir adalah seorang perempuan. Mengetahui hal itu, Bapak cuma ketawa. Merelakan uang yang sudah dibagi-bagikannya. Tidak mungkin kan uang yang sudah diberikan diminta kembali.
Sewaktu Bapak masuk rumah sakit di Rumah Sakit Faisal karena sakit yang dideritanya. Bapak selama ini menderita penyakit diabetes. Setelah sekian lama berjuang menghadapi sakit yang dideritanya. Segala pengobatan telah dicobanya.  Bapak divonis mengalami gagal ginjal dan harus melakukan hemodyalisis atau cuci darah. Tapi, Bapak tidak mau sekali melakukan cuci darah. Ia sudah pasrah. Sehari sebelum dilakukan cuci darah ia berpulang ke Rahmatullah. Innalillahi wainna ilaihi rojiun….
Sewaktu di rumah sakit, saya sering ke kamar kecil. Perasaan saya selalu mau buang air kecil. Sehabis pulang dari rumah sakit, saya memeriksakan diri ke dokter di puskesmas. Saya dinyatakan positif. Alhamdulillah. Saya tidak menyangka bahwa saya sedang hamil pada saat itu.
Proses kehamilan pertamaku lancar-lancar saja. Tidak ada keluhan berarti. Bukan karena ini kehamilan pertama dan dinantikan. Namun, memang tidak ada masalah dalam kehamilanku yang pertama ini. Saya tidak mual-mual seperti layaknya orang hamil, cuma perasaan yang selalu mau buang air kecil yang kurasakan. Sampai menginjak tujuh bulan usia kehamilan, saya terjatuh di selokan ketika mau menyeberang ke rumah Ibu. Saya cukup mengkhawatirkan kandunganku pada saat itu. Tapi, saya pasrahkan kepada Allah yang Maha Kuasa.
Ketika kelahiran sang bayi semakin dekat, tetap tidak ada masalah yang berarti. Alhamdulillah, semua lancar-lancar saja. Saya cukup rajin memeriksakan diri ke bidan puskesmas mengikuti jadwal di buku pink yang diberikan oleh bidan di Puskesmas. Untuk mengetahui perkembangan janin dalam kandungan. Alhamdulillah semua normal. Termasuk letak atau posisi bayi dalam kandungan.
Malam sebelum kelahiran si bayi, saya sudah merasa sakit di bagian perut. Sakit itu kurasakan sejak tengah malam. Pada awalnya, rasa sakit itu berjarak cukup lama, sejam dua jam, semakin lama semakin singkat waktunya, lima menit lima menit.  Menjelang subuh saya masih mencoba bertahan di rumah. Untuk melupakan rasa sakit yang kurasakan, saya masih sempat melipat-lipat pakaian yang sudah dicuci.
Pagi menjelang, sakitnya sudah tak tertahankan. Saya memanggil Ibu untuk menemani ke Rumah Bersalin Masyita. Perlengkapan bayi dan perlengkapanku selama di rumah sakit sudah lama kupersiapkan. Saya sudah memasukkan semua perlengkapan ke dalam tas. Tinggal angkat saja ketika waktunya tiba. Sayapun berangkat ke rumah sakit ditemani suami dan Ibuku. Sesampai di sana saya diperiksa. Kata bidan kalau tidak salah ingat, “Masih pembukaan tiga, masih lama lahirannya, Bu.” Entahlah, masih pembukaan berapa waktu itu. Tapi saya berpikir, “Waah, masih lama kalau begitu.”
Dalam keadaan sakit yang tak tertahankan itu. Saya berjalan kesana kemari, boleh dikatakan hampir berlari di koridor rumah sakit. Ada yang bilang, kuatnya ini jalan ibu, na maumi melahirkan. Mungkin karena si ibu dulu suka pergi demo pada jamannya rezim Soeharto atau sering jalan kaki bolak balik ke tempat training di Masjid Alauddin, Racing Centre dari Pampang. Untuk menghemat uang transpor waktu itu.
Tetiba, sakit tak tertahankan kurasakan. Saya pergi ke ruang tempat bersalin. Tapi saya masih berusaha berjalan-jalan di samping ranjang rumah sakit. Sambil berpegangan pada pegangan ranjang. Bidan bilang, “Naikmi Bu ke tempat tidur!” Saya tidak menghiraukan karena rasa sakit yang kurasakan. Saat itu saya merasa masih kuat berjalan bahkan melompat-lompat sekalipun. Itu kulakukan dengan harapan, saya mudah melahirkan. Tiba-tiba ada air yang merembes membasahi sarung yang saya pakai. Rupanya itu air ketuban. Kata bidan, “Saya bilang memang naik maki ke tempat tidur tadi. Naik maki cepat!”
Sayapun naik ke ranjang. Tak lepas-lepas lafaz zikir kulantunkan. Tak lupa pula kubaca doa Nabi Yunus as ketika beliau as berada di dalam perut ikan paus. Laa ilahaa llaa anta subhaanaka inii kuntu minadz dzaalimin. Saya dibantu oleh dua orang bidan untuk melakukan proses persalinan. Alhamdulillah, Ibu dan suami mendampingi saya melahirkan. Sehingga bisa memberi semangat kepada saya dalam menjalani proses kelahiran anakku yang pertama ini.
Sepertinya suami tak tahan melihat saya merasakan sakit yang luar biasa pada saat melahirkan. Matanya berkaca-kaca. Akhirnya suami disuruh keluar ruangan.
Tak lama kemudian bayiku lahir. Ia ternyata terlilit tali pusat. Sehingga saya mesti mendapat dua jahitan. Kata Ibu bidan, tali yang terlilit menyebabkan bayi agak sulit keluar, jadi mesti digunting jalan keluarnya sedikit. Walaupun begitu, saya sangat bersyukur bayiku lahir sehat dan sempurna dengan berat badan 2500 gram. Dan ia seorang baby boy atau bayi laki-laki. Alhamdulillah.
Setelah bayi dibersihkan dan diselimuti, suami lalu mengambil si bayi dan membacakan azan di telinganya. Kemudian bayinya diletakkan di sampingku. Kemudian, suami memberikan sebatang coklat Silver Queen kegemaranku. Duh...Bahagianya hati ini. Perhatian kecil namun sangat berarti bagiku.
Begitulah proses kehamilan dan kelahiran anak pertamaku, yang bernama Muh. Ersyah Mannuntungi, delapan belas tahun yang lalu, tepatnya 20 Desember 2001. Setiap proses kehamilan dan kelahiran bisa saja berbeda untuk setiap anak. Dari keempat anakku, masing-masing berbeda baik pada proses kehamilan maupun proses kelahirannya. Dan yang paling ringan adalah anak ketigaku, sedangkan yang terberat adalah anak keempatku. Kalau ada kesempatan, saya akan menuliskan semua kisahnya, insya Allah.

Bersambung....

Sumber Photo : By Google

Kamis, 09 Januari 2020

SECUIL KENANGAN



Saya lahir dan besar di kampung. Ya, kampung. Karena, walaupun Pampang terletak di kota Makassar namun rasanya seperti tinggal di kampung. Itu dulu. ketika Pampang masih punya banyak sawah, empang dan juga sungai yang cukup lebar. Sungai yang memisahkan antara Pampang dan sebuah perguruan tinggi, Universitas Muslim Indonesia (UMI). Dulu jika kita ingin ke kampus UMI, kita mesti menyeberang sungai terlebih dahulu dengan menggunakan sampan.
Kini, sungai itu sebagian besar sudah ditimbuni. Sungai itu sekarang berupa kanal dan di atasnya dibangun sebuah jembatan penghubung. Jembatan yang menghubungkan antara Pampang dengan Pabbatangang dan Limbangang. Sebelumnya, kalau kita hendak ke Limbangang dan Pa’batangang kita melewati jalanan biasa. Tetapi, kemudian jalanan itu digali dan dijadikan bagian dari kanal yang membentang dari selatan ke utara Kelurahan Pampang.
Sewaktu kecil saya dan teman-teman sering bermain di sawah. Di sawah kami sering mencari ikan bale balang. Dulu saya suka makan ikan bale balang. Ikan ini lezat sekali rasanya kalau dibakar. Apalagi baunya…hhmm…sedaaap.
Di sawah juga kami mencari telur itik di antara rerumpunan padi. Itik-itik warga dibiarkan mencari makanan sendiri. Tak jarang teman menemukan telur itik di sela-sela tanaman padi. Betapa gembiranya hati jika menemukan telur. Kadang sampai bersorak dibuatnya. Tapi, sayang rupanya saya kurang beruntung. Saya tidak pernah sekalipun mendapatkan telur itik di sawah.
Sebenarnya nenek juga memelihara itik di bawah rumah panggungnya. Tempat tinggal saya waktu itu. Sebelum orang tua saya membangun rumah di depan rumah nenek. Setiap pagi itik-itik itu bertelur. Dan juga memelihara ayam kampung yang setiap hari juga bertelur. Namun suatu keasyikan tersendiri, jika pergi mencari telur itik bersama teman-teman.
Kalau panen tiba kami kadang pergi memotong padi. Dengan menggunakan ani-ani sebagai alat untuk memotong padi atau memanen padi. Kalau dalam bahasa Makassarnya 'akkatto'. Seru juga waktu itu. Jika kita sudah akkatto, kita akan dikasi imbalan berupa beberapa ikat padi. Besarnya imbalan itu tergantung berapa banyak yang bisa di-katto atau dipanen.
Permainan waktu kecil kami seperti parlos, enggok, main tali, asing dan main tembak-tembak dari bambu. Parlos itu main sembunyi-sembunyi. Ada seorang yang menutup mata dan menjaga markas. Dan yang lainnya pergi bersembunyi. Kemudian teman yang menjaga lalu mencari teman-teman yang bersembunyi. Jika ditemukan teman yang lagi bersembunyi maka yang ditemukan menjadi penjaganya. Namun kalau ada teman lain yang pergi memegang tiang markas yang dijaga maka ia kembali yang menjadi penjaganya.
Dulu permainan favoritku adalah asing. Masih adakah yang ingat permainan asing? Suatu permainan team atau melibatkan beberapa orang yang sangat seru. Dan kami sering menang dalam permainan ini. Mungkin karena tubuh saya yang kecil, lincah dan pandai berkelit. Hehehe...puji ale.
Setiap siang habis sekolah saya pergi mengaji. Guruku mengajiku waktu itu bernama Tata Japa. Tata Japa suka sekali merokok. Setiap pergi mengaji saya selalu membawakan rokok buat Tata Japa. Kalau bukan rokok  merk Spesial yang berwarna merah, pastilah rokok merek Harum yang berwarna putih. Merek rokok itulah kegemaran guru mengajiku. Bukan Dji Sam Soe atau Gudang Garam. Kebetulan orang tua saya punya toko waktu itu. Jadi saya tinggal mengambil di toko kalau mau pergi mengaji.
Dulu anak-anak rajin sekali pergi mengaji. Tanpa disuruh setiap pulang sekolah mereka sudah tahu apa kewajiban mereka. Yaitu pergi belajar mengaji di rumah guru mengaji. Berbeda dengan anak-anak zaman sekarang, yang agak malas pergi mengaji. Mungkin karena godaan smartphone yang maha dahsyat sehingga layar kaca di dalam genggaman itu sangat betah mereka pelototi. Biarpun berjam-jam tak ada bosan-bosannya.
Setiap hari lebaran, selepas menunaikan sholat iedul Fitri, saya dan teman-teman selalu ke rumah-rumah empang. Kami membawa makanan, ketupat dan opor ayam untuk dimakan di rumah empang itu. Istilah kami waktu itu, mae angnganre-nganre alias pergi makan-makan. Kalau tidak salah, di rumah empangnya Daeng Mici waktu itu. Sambil memandang ke dalam empang. Berharap bisa melihat ikan-ikan bolu yang berenang kian kemari. Namun, yang kami lihat hanya sekumpulan air keruh. Sejuknya udara di empang membuat kami merasa nyaman berada di sana.
Kehijauan pohon-pohon nipah di pinggir empang membuat hati terasa teduh. Di sana kami makan-makan sambil ngobrol, bercerita dengan riang, khas anak-anak. Bahagia sekali rasanya waktu itu. Entah umur berapa atau sejak kelas berapa, saya dan teman-teman tidak lagi melakukan kebiasaan kami ke empang Daeng Mici setiap lebaran.
Lambat laun kami makin besar, kami semakin sibuk bersekolah. Teman-teman kini silih berganti. Pembangunan pun semakin semarak di Pampang. Sawah dan empang pun dijadikan rumah-rumah penduduk. Demikian pula dengan pohon-pohon nipah ditebang. Anak-anak tidak lagi punya tempat bermain yang seru seperti dulu. Permainannya pun tidak beragam seperti dulu. Tergantikan dengan smartphone dengan aplikasi youtubenya yang sangat digemari oleh anak-anak. Namun, saya merasa permainan itu tidak seindah dan tidak seseru permainan tempo doeloe. Yang masih terkenang sampai sekarang.
Namun, mungkin dunia kita dan anak-anak kita sekarang jauh berbeda. Kini, sudah era digital, kita tidak bisa mengelak dan melarang mereka. Tinggal bagaimana kita mengatur, mengawasi serta memilihkan konten yang sesuai dengan mereka.  Seraya menanamkan nilai-nilai moral dan kebaikan pada diri anak kita. Semoga anak-anak kita terhindar dari hal-hal negatif yang bisa menjerumuskan mereka.

Sumber foto :  by Google.