Sore itu sepasang remaja nampak jalan berdua di bawah matahari sore yang indah. Keindahan sore itu tak memengaruhi dua anak manusia itu. Mereka lagi gundah gulana. Penyebabnya adalah karena sang pemudi lagi mengandung anak si pemuda. Padahal mereka belum menikah. Sang pemudi kesal karena kekasihnya belum menentukan sikapnya. Untuk menikahi sang pemudi secepatnya. Sedangkan usia kandungannya sudah dua bulan. Dia takut kepada kedua orang tuanya apabila ketahuan bahwa dirinya sudah hamil di luar nikah.
“Irwan, bagaimana dong, kapan kamu melamar saya?” Tanya Ami tak sabar.
“Saya tidak tahu Ami, kamu khan tau saya belum punya pekerjaan. Bagaimana caranya saya menafkahi kamu?" Sahut Irwan.
“Tapi, bagaimana dengan saya yang sudah hamil ini. Sudah dua bulan lagi. Jangan lagi bilang tidak ada pekerjaanmu. Gampangji itu, kalau kita berusaha, kita pasti bisa makan," Balas Ami dengan sedih.
“Bagaimana dengan uang panai, orangtuamu pasti minta uang panai yang tinggi. Kamu tau khan saya tidak punya uang yang banyak,” Kata Irwan.
“Irwan, kamu datang saja melamar, percaya deh nanti orang tuaku tidak minta uang panai yang banyak,” Jawab Ami.
“Tapi...saya belum siap menikah,” Sahut Irwan.
“Issengko, jadi bagaimanami ini di perut kasian, maumi diapakan, semakin hari semakin besar,” Balas Ami.
“Gugurkan saja, supaya kita bebas,” Kata Irwan.
“Ooh, Tuhan, Eeh sadarko. Dosa besar itu, saya tidak mau gugurkan bayi ini,” Balas Ami. “Irwan, berpikirko baik-baik. Ini anak tidak berdosa, kita yang berdosa, jangan tambah-tambah lagi dosa kita. Klo begitu, saya pergi dulu, saya tunggu keputusanmu besok malam.”
Mereka berdua kemudian berpisah. Ami melangkah dengan hati yang resah dan kalut. Irwan pun demikian. Mereka larut dengan pikirannya masing-masing. Langkah apa yang mereka akan tempuh selanjutnya. Mereka takut memberitahukan kepada kedua orang tua mereka. Apa yang sudah terjadi. Ami memikirkan apakah orang tuanya mau menerima kenyataan bahwa anak gadis semata wayang mereka sudah hamil di luar nikah. Demikian pula Irwan, bagaimana cara menyampaikan kepada kedua orang tuanya bahwa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada awalnya, mereka ikut-ikutan dengan teman mereka. Teman yang sudah punya pacar membully temannya yang belum punya pacar. Katanya orang jombo itu tidak laku. Sehingga menjadi suatu keharusan untuk memiliki pacar, kalau tidak mau dibilangi pemuda atau pemudi tidak laku.
Kedua remaja nan labil itupun kemudian terjebak dalam gelora cinta yang memabukkan. Mereka tidak menyadari bahwa hubungan cinta mereka akan berakibat seperti ini. Seringkali mereka bertemu di luar. Tanpa sepengetahuan orang tua mereka.
Awalnya mereka hanya jalan-jalan saja berdua. Nonton bioskop, nongkrong di cafe, ataupun sekedar jalan-jalan di Pantai Losari. Sampai suatu hari, sang pemuda mengajak ke rumah temannya. Ingin bertamu ceritanya. Maka mereka pun pergi berdua.
Sesampai di rumah teman Irwan, mereka mengetuk pintu.
“Tok..tok.. Ada orang di dalam?" Tanya Irwan.
Seseorang membuka pintu. Rupanya teman Irwan.
“Oh, kamu bos. Silakan masuk," Kata Malik, teman Irwan. “Wah, kamu bawa cewek rupanya nih. Pacarmu inikah, manis juga yah?"
“Ah kamu, Malik, selalunya kalau lihat cewek pasti kamu gombal," Sahut Irwan.
Ami dan Irwan masuk ke rumah Malik. Mereka duduk berdua di sofa. Malik mengambilkan minuman.
“Eeh Malik, jangan repot-repot yah. Kami cuma sebentar saja,” Kata Irwan.
“Kok, mau pulang cepat-cepat. Di sini tak ada siapa-siapa, orangtuaku paling besok baru pulang. Mereka pergi ke acara keluarga di kampung. Tinggal aku yang jaga rumah,” Sahut Irwan.
“Oh, iya kalau begitu, ambil semua apa yang ada di dapur..hehehe," Kata Irwan tertawa.
Ami tersenyum mendengar percakapan mereka. Malik berjalan ke dapur lalu muncul dengan membawa nampan berisi dua gelas teh dengan sepiring kue.
“Oh yah, nama kamu siapa,," Tanya Malik.
“Nama saya Ami,’’ Jawab Ami.
Begitulah, mereka ngobrol sana-sini, ngalor ngidul. Sampai tidak terasa hari sudah sore.
“Bagaimana masih betah di sini, khan? Kalau kalian pulang, saya pasti kesepian sendiri,” Kata Malik. Istirahatlah di sini, ada kamar yang bisa dipakai istirahat.”
Ami sebenarnya ragu. Mau pulang saja. Takut dimarahi orang tuanya kalau terlambat pulang. Tapi Irwan membujuknya supaya mau tetap tinggal menemani. Akhirnya Ami mengiyakan permintaan Malik. Ami kemudian ditunjukkan kamar yang bisa dipakai istirahat olehnya. Sementara itu Malik dan Irwan tetap berbincang-bincang di kamar tamu.
Sementara Ami terlelap, Irwan mulai suntuk. Dia minta ijin untuk istirahat kepada Malik. Irwan ditunjukkan kamar oleh Malik. Kamar yang berbeda dengan Ami. Tapi Irwan penasaran, apa yang sedang dikerjakan Ami di kamarnya. Sudah tidurkah dia atau sedang apa. Lalu Irwan mengetuk pintu kamar Ami. Tidak ada jawaban. Lalu dia memutar gagang pintu. Eh tidak terkunci. Irwan lalu masuk. Dia menyaksikan Ami tertidur dengan pulasnya. Dia mendekat dan memandangi wajah Ami yang tampak sangat cantik.
Timbul pikiran di hatinya untuk membelai wajah kekasihnya itu. Dia pun membelai rambutnya. Ami tersadar. Dia terkejut Irwan sudah berada di sampingnya. Tapi dia membiarkan saja perlakuan Irwan terhadapnya. Dia sangat mencintai Irwan. Demikian pula sebaliknya. Mereka lupa bahwa mereka belum menikah. Malam itu, terjadilah sesuatu yang sangat tidak pantas dilakukan oleh mereka. Yang akhirnya berbuah pahit.
Sejak kejadian itu, mereka tetap saja menjalin pertemuan. Mereka merasa tak berdosa. Mereka mungkin tau bahwa itu perbuatan dosa. Tapi mereka menepisnya. Atas nama cinta. Cinta yang tak halal.
Sampai suatu hari, Ami terlambat datang bulan. Dia kaget dan sangat takut. Tapi apa mau dikata. Sudah terlanjur. Irwan harus diberitahu. Supaya bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya. Ami berpikir Irwan pasti mau bertanggung jawab atas kehamilannya karena Irwan sangat mencintainya. Tapi tak disangka Irwan ragu untuk segera menikahinya dengan berbagai alasan. Ami sangat sedih.
Malam itu ditemani cahaya bulan purnama, Ami tampak duduk diteras. Orang tuanya sudah terlelap. Ami yang sedari tadi menunggu telepon dari Irwan, sudah tidak sabar menunggu. Dia memutuskan untuk menelepon duluan. Dia mengangkat hpnya lalu mulai menelepon Irwan. Telepon diangkat oleh Irwan.
“Halo, Irwan, bagaimana sekarang keputusanmu,” Tanya Ami.
“Oh, iya Ami, saya sudah kasi tau orang tuaku. Mereka kaget, mereka juga marah. Tapi mereka mau menikahkankan saya. Mereka bilang, kenapa saya menghamili anaknya orang. Seandainya mereka tahu, mereka akan menikahkan saya sebelumnya,” Jawab Irwan.
“Oh, syukurlah. Tapi saya belum beri tahu orang tuaku,” Kata Ami.
“Kalau begitu, beritahukan segera orang tuamu, bilang ada yang mau datang melamar,” Sahut Irwan.
“Tapi saya tidak bisa bilang kalau saya sudah hamil. Saya takut nanti saya dimarah dan dipukul,” Kata Ami.
“Oh, iya, kalau begitu jangan kasi tau dulu, biar orang tuaku pergi melamar dulu, ” Kata Irwan.
Ami merasa lega. Irwan mau melamarnya secepatnya. Ami segera memberi tahu orang tuanya. Bahwa ada yang akan datang melamarnya. Orang tuanya pun senang dan mempersilakan orang tua Irwan untuk datang melamar. Mereka juga memberi tahu kepada keluarga mereka yang lain. Mereka membicarakan berapa uang panai yang akan mereka minta. Ami ketar-ketir mendengarnya karena uang panai yang mereka akan minta cukup tinggi.
Tibalah hari yang dinantikan oleh Ami. Keluarga Irwan datang melamar Ami. Mereka kemudian membicarakan hal ikhwal lamaran. Ternyata mereka tidak sepakat tentang uang panai. Kata keluarga Irwan, mereka tidak mampu memenuhi permintaan uang panai. Terlalu tinggi katanya. Keluarga Irwan pulang dengan menitip kata bahwa uang panai yang mereka sanggupi hanya seperdua uang yang diminta. Kalau keluarga Ami sepakat, lamaran akan ditindak lanjuti. Ami yang mendengarnya sangat sedih.
Akhirnya, Ami mengaku kepada kedua orang tuanya, bahwa ia sudah hamil. Sudah menjelang tiga bulan usia kandungannya. Betapa terkejutnya orang tua Ami mengetahui hal itu. Mereka marah kepada Ami. Dan hampir saja Ami dipukul oleh bapaknya kalau saja tidak ditahan oleh neneknya. Ibu Ami bahkan shock mendengar hal itu. Dia terus saja menangis memikirkan hal itu. kenapa hal memalukan itu terjadi pada putri mereka. Putri semata wayang mereka. Apa kata orang. Hanya satu anak mereka, tapi mereka tidak bisa mendidiknya dengan baik. Itu yang terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Akhirnya, lamaran dilanjutkan. Setelah orang tua Ami menyetujui uang panai yang akan dibawa oleh pihak laki-laki. Tetapi keadaan menjadi begitu muram. Seharusnya kebahagian yang meliputi mereka. Karena akan ada yang menikah di rumah itu. Ibu Ami mengalami depresi karena beratnya beban malu yang dia mesti tanggung. Rasa malu yang menghunjam ke lubuk hatinya yang terdalam. Dan itu membuat Ami merasa sangat bersalah dan menyesali perbuatannya. Sesal yang tak ada gunanya lagi.
“Irwan, bagaimana dong, kapan kamu melamar saya?” Tanya Ami tak sabar.
“Saya tidak tahu Ami, kamu khan tau saya belum punya pekerjaan. Bagaimana caranya saya menafkahi kamu?" Sahut Irwan.
“Tapi, bagaimana dengan saya yang sudah hamil ini. Sudah dua bulan lagi. Jangan lagi bilang tidak ada pekerjaanmu. Gampangji itu, kalau kita berusaha, kita pasti bisa makan," Balas Ami dengan sedih.
“Bagaimana dengan uang panai, orangtuamu pasti minta uang panai yang tinggi. Kamu tau khan saya tidak punya uang yang banyak,” Kata Irwan.
“Irwan, kamu datang saja melamar, percaya deh nanti orang tuaku tidak minta uang panai yang banyak,” Jawab Ami.
“Tapi...saya belum siap menikah,” Sahut Irwan.
“Issengko, jadi bagaimanami ini di perut kasian, maumi diapakan, semakin hari semakin besar,” Balas Ami.
“Gugurkan saja, supaya kita bebas,” Kata Irwan.
“Ooh, Tuhan, Eeh sadarko. Dosa besar itu, saya tidak mau gugurkan bayi ini,” Balas Ami. “Irwan, berpikirko baik-baik. Ini anak tidak berdosa, kita yang berdosa, jangan tambah-tambah lagi dosa kita. Klo begitu, saya pergi dulu, saya tunggu keputusanmu besok malam.”
Mereka berdua kemudian berpisah. Ami melangkah dengan hati yang resah dan kalut. Irwan pun demikian. Mereka larut dengan pikirannya masing-masing. Langkah apa yang mereka akan tempuh selanjutnya. Mereka takut memberitahukan kepada kedua orang tua mereka. Apa yang sudah terjadi. Ami memikirkan apakah orang tuanya mau menerima kenyataan bahwa anak gadis semata wayang mereka sudah hamil di luar nikah. Demikian pula Irwan, bagaimana cara menyampaikan kepada kedua orang tuanya bahwa ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada awalnya, mereka ikut-ikutan dengan teman mereka. Teman yang sudah punya pacar membully temannya yang belum punya pacar. Katanya orang jombo itu tidak laku. Sehingga menjadi suatu keharusan untuk memiliki pacar, kalau tidak mau dibilangi pemuda atau pemudi tidak laku.
Kedua remaja nan labil itupun kemudian terjebak dalam gelora cinta yang memabukkan. Mereka tidak menyadari bahwa hubungan cinta mereka akan berakibat seperti ini. Seringkali mereka bertemu di luar. Tanpa sepengetahuan orang tua mereka.
Awalnya mereka hanya jalan-jalan saja berdua. Nonton bioskop, nongkrong di cafe, ataupun sekedar jalan-jalan di Pantai Losari. Sampai suatu hari, sang pemuda mengajak ke rumah temannya. Ingin bertamu ceritanya. Maka mereka pun pergi berdua.
Sesampai di rumah teman Irwan, mereka mengetuk pintu.
“Tok..tok.. Ada orang di dalam?" Tanya Irwan.
Seseorang membuka pintu. Rupanya teman Irwan.
“Oh, kamu bos. Silakan masuk," Kata Malik, teman Irwan. “Wah, kamu bawa cewek rupanya nih. Pacarmu inikah, manis juga yah?"
“Ah kamu, Malik, selalunya kalau lihat cewek pasti kamu gombal," Sahut Irwan.
Ami dan Irwan masuk ke rumah Malik. Mereka duduk berdua di sofa. Malik mengambilkan minuman.
“Eeh Malik, jangan repot-repot yah. Kami cuma sebentar saja,” Kata Irwan.
“Kok, mau pulang cepat-cepat. Di sini tak ada siapa-siapa, orangtuaku paling besok baru pulang. Mereka pergi ke acara keluarga di kampung. Tinggal aku yang jaga rumah,” Sahut Irwan.
“Oh, iya kalau begitu, ambil semua apa yang ada di dapur..hehehe," Kata Irwan tertawa.
Ami tersenyum mendengar percakapan mereka. Malik berjalan ke dapur lalu muncul dengan membawa nampan berisi dua gelas teh dengan sepiring kue.
“Oh yah, nama kamu siapa,," Tanya Malik.
“Nama saya Ami,’’ Jawab Ami.
Begitulah, mereka ngobrol sana-sini, ngalor ngidul. Sampai tidak terasa hari sudah sore.
“Bagaimana masih betah di sini, khan? Kalau kalian pulang, saya pasti kesepian sendiri,” Kata Malik. Istirahatlah di sini, ada kamar yang bisa dipakai istirahat.”
Ami sebenarnya ragu. Mau pulang saja. Takut dimarahi orang tuanya kalau terlambat pulang. Tapi Irwan membujuknya supaya mau tetap tinggal menemani. Akhirnya Ami mengiyakan permintaan Malik. Ami kemudian ditunjukkan kamar yang bisa dipakai istirahat olehnya. Sementara itu Malik dan Irwan tetap berbincang-bincang di kamar tamu.
Sementara Ami terlelap, Irwan mulai suntuk. Dia minta ijin untuk istirahat kepada Malik. Irwan ditunjukkan kamar oleh Malik. Kamar yang berbeda dengan Ami. Tapi Irwan penasaran, apa yang sedang dikerjakan Ami di kamarnya. Sudah tidurkah dia atau sedang apa. Lalu Irwan mengetuk pintu kamar Ami. Tidak ada jawaban. Lalu dia memutar gagang pintu. Eh tidak terkunci. Irwan lalu masuk. Dia menyaksikan Ami tertidur dengan pulasnya. Dia mendekat dan memandangi wajah Ami yang tampak sangat cantik.
Timbul pikiran di hatinya untuk membelai wajah kekasihnya itu. Dia pun membelai rambutnya. Ami tersadar. Dia terkejut Irwan sudah berada di sampingnya. Tapi dia membiarkan saja perlakuan Irwan terhadapnya. Dia sangat mencintai Irwan. Demikian pula sebaliknya. Mereka lupa bahwa mereka belum menikah. Malam itu, terjadilah sesuatu yang sangat tidak pantas dilakukan oleh mereka. Yang akhirnya berbuah pahit.
Sejak kejadian itu, mereka tetap saja menjalin pertemuan. Mereka merasa tak berdosa. Mereka mungkin tau bahwa itu perbuatan dosa. Tapi mereka menepisnya. Atas nama cinta. Cinta yang tak halal.
Sampai suatu hari, Ami terlambat datang bulan. Dia kaget dan sangat takut. Tapi apa mau dikata. Sudah terlanjur. Irwan harus diberitahu. Supaya bertanggung jawab atas anak dalam kandungannya. Ami berpikir Irwan pasti mau bertanggung jawab atas kehamilannya karena Irwan sangat mencintainya. Tapi tak disangka Irwan ragu untuk segera menikahinya dengan berbagai alasan. Ami sangat sedih.
Malam itu ditemani cahaya bulan purnama, Ami tampak duduk diteras. Orang tuanya sudah terlelap. Ami yang sedari tadi menunggu telepon dari Irwan, sudah tidak sabar menunggu. Dia memutuskan untuk menelepon duluan. Dia mengangkat hpnya lalu mulai menelepon Irwan. Telepon diangkat oleh Irwan.
“Halo, Irwan, bagaimana sekarang keputusanmu,” Tanya Ami.
“Oh, iya Ami, saya sudah kasi tau orang tuaku. Mereka kaget, mereka juga marah. Tapi mereka mau menikahkankan saya. Mereka bilang, kenapa saya menghamili anaknya orang. Seandainya mereka tahu, mereka akan menikahkan saya sebelumnya,” Jawab Irwan.
“Oh, syukurlah. Tapi saya belum beri tahu orang tuaku,” Kata Ami.
“Kalau begitu, beritahukan segera orang tuamu, bilang ada yang mau datang melamar,” Sahut Irwan.
“Tapi saya tidak bisa bilang kalau saya sudah hamil. Saya takut nanti saya dimarah dan dipukul,” Kata Ami.
“Oh, iya, kalau begitu jangan kasi tau dulu, biar orang tuaku pergi melamar dulu, ” Kata Irwan.
Ami merasa lega. Irwan mau melamarnya secepatnya. Ami segera memberi tahu orang tuanya. Bahwa ada yang akan datang melamarnya. Orang tuanya pun senang dan mempersilakan orang tua Irwan untuk datang melamar. Mereka juga memberi tahu kepada keluarga mereka yang lain. Mereka membicarakan berapa uang panai yang akan mereka minta. Ami ketar-ketir mendengarnya karena uang panai yang mereka akan minta cukup tinggi.
Tibalah hari yang dinantikan oleh Ami. Keluarga Irwan datang melamar Ami. Mereka kemudian membicarakan hal ikhwal lamaran. Ternyata mereka tidak sepakat tentang uang panai. Kata keluarga Irwan, mereka tidak mampu memenuhi permintaan uang panai. Terlalu tinggi katanya. Keluarga Irwan pulang dengan menitip kata bahwa uang panai yang mereka sanggupi hanya seperdua uang yang diminta. Kalau keluarga Ami sepakat, lamaran akan ditindak lanjuti. Ami yang mendengarnya sangat sedih.
Akhirnya, Ami mengaku kepada kedua orang tuanya, bahwa ia sudah hamil. Sudah menjelang tiga bulan usia kandungannya. Betapa terkejutnya orang tua Ami mengetahui hal itu. Mereka marah kepada Ami. Dan hampir saja Ami dipukul oleh bapaknya kalau saja tidak ditahan oleh neneknya. Ibu Ami bahkan shock mendengar hal itu. Dia terus saja menangis memikirkan hal itu. kenapa hal memalukan itu terjadi pada putri mereka. Putri semata wayang mereka. Apa kata orang. Hanya satu anak mereka, tapi mereka tidak bisa mendidiknya dengan baik. Itu yang terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Akhirnya, lamaran dilanjutkan. Setelah orang tua Ami menyetujui uang panai yang akan dibawa oleh pihak laki-laki. Tetapi keadaan menjadi begitu muram. Seharusnya kebahagian yang meliputi mereka. Karena akan ada yang menikah di rumah itu. Ibu Ami mengalami depresi karena beratnya beban malu yang dia mesti tanggung. Rasa malu yang menghunjam ke lubuk hatinya yang terdalam. Dan itu membuat Ami merasa sangat bersalah dan menyesali perbuatannya. Sesal yang tak ada gunanya lagi.