Di sebuah kampung yang bernama Kampung Mangga, tinggallah anak yang bernama Suci bersama ibunya. Bapak Suci sudah lama meninggal dunia, sejak Suci masih berumur 1 tahun. Sejak bapak Suci meninggal, ibunya tidak menikah lagi. Alasannya, ibunya mau fokus memberi kasih sayang kepada anak semata wayangnya, Suci. Sekarang Suci sudah berumur 10 tahun.
Kehidupan mereka sangatlah sederhana. Ibunya menjadi tukang cuci pakaian di rumah tetangga dan juga membuat gorengan untuk dijual oleh Suri. Pekerjaan menggoreng barang jualan dikerjakan sebelum ibunya pergi mencuci pakaian di rumah tetangga. Kebetulan Suci masuk sekolahnya siang hari. Jadi sebelum ke sekolah, Suci menjajakan dulu gorengannya.
Pada suatu hari yang cerah, Suci menjajakan gorengannya. Banyak pembeli yang membeli jualannya. Tinggal beberapa buah lagi di dalam kotak jualannya. Suci berucap, "Alhamdulillah, tinggal beberapa buah lagi jualanku." Suci kembali mengitari kampung untuk menjual gorengan yang tersisa. Tiba-tiba ada seorang ibu yang memanggil. "Pisang goreng...pisang goreng, masih adakah pisang gorengnya Suci?"Tanya ibu itu. Suci menjawab, "Masih ada Bu, masih ada lima buah." Ibu itu menjawab, "Oh kalau begitu, ibu beli semuanya." Suci lalu membungkus pisang goreng pesanan ibu itu. Dan ibu itu membayarnya.
Dengan hati yang riang gembira, Suci pulang ke rumah. Untuk bersiap-siap ke sekolah. Dalam perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ia melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan. Suci menggumam, wah dompet siapa ini yah. Suci kemudian membuka dompet itu. Siapa tahu ada tanda pengenal yang punya dompet. Betapa terkejutnya dia ketika terlihat beberapa lembar uang seratus ribu di dalam dompet itu.
Entah mengapa terlintas di benak Suci, ia butuh uang itu. Tasnya sudah rusak, resletingnya terbuka. Sepatunya juga sudah tua. Hampir bolong lagi. Pertentangan pun terjadi di hati Suci. Antara mau mengambil uang itu atau mengembalikannya kepada sang pemilik dompet. Tetapi, akhirnya dibawa juga dompet itu pulang ke rumah.
Sesaat kemudian Suci sampai di rumah. Ibu lagi duduk-duduk di ruang tamu. Ibu menyambut Suci, dan berkata, "Nak, makan dulu yah sebelum ke sekolah." Suci membalas, "Iyya Bu." Kemudian, Suci menceritakan kepada ibunya bahwa ia telah menemukan sebuah dompet. Ibunya lalu berkata, "Nak, kembalikan dompet itu. Kita tidak berhak mengambilnya." Dengan sedih Suci menjawab, "Ibu, bukankah kita butuh uang untuk membelikan saya tas dan sepatu. Tas dan sepatu saya sudah rusak, Bu." Lalu dengan lembut ibu Suci membelai rambut anak semata wayangnya itu dan berkata, "Anakku sayang, memang kita lagi butuh uang tapi uang dalam dompet itu bukan punya kita. Mungkin saat ini orang yang punya dompet sangat sedih. Jadi kembalikanlah nak." Suci menjawab, "Iyya Bu. Klo begitu, besok pagi saya kembalikan dompet ini kepada pemiliknya." Dengan lega ibu Suci berkata, "Begitu dong Nak, jangan sedih yah. Ibu juga lagi kumpul duit nih. Supaya ibu bisa beli tas dan sepatu baru untukmu, sayang."
Suci dan ibunya kemudian memeriksa dompet itu. Mereka menemukan sebuah KTP dan beberapa kartu lainnya. Di KTP tertera nama dan alamat yang jelas. Ternyata pemilik dompet seorang haji yang bernama Haji Mahmud, yang tinggalnya di kampung sebelah, Kampung Rambutan.
Keesokan harinya, kebetulan hari itu hari Minggu, Suci berangkat ke kampung Rambutan. Tentu saja sambil membawa jualannya. Di sepanjang jalan, gorengan Suci dibeli anak-anak maupun orang tua. Mereka suka dengan pisang goreng buatan Ibu Suci. Manis alami karna buah pisang yang digoreng ibu Suci buah yang matang di pohon, bukan karbitan. Tak berapa lama kemudian, sampailah Suci di Kampung Rambutan. Di sebuah pos ronda, beberapa warga kampung Rambutan lagi duduk mengobrol. Kepada mereka, Suci berkata, "Bapak-bapak bolehkah saya bertanya." Seorang bapak dengan tersenyum, menjawab, "Boleh saja Nak, apa yang hendak Anak tanyakan?" Suci menjawab, "Saya mau tanya, di mana rumah Pak Haji Mahmud." Bapak itu menjawab,"Oh rumah Pak Haji Mahmud, yah. Rumah Pak Haji Mahmud itu di ujung jalan ini. Rumah bertingkat dua. Bercat Kuning Cerah. Ada pohon Mangga dan Pepaya di halamannya. Coba jalan saja terus sampai kamu menemukan rumah Pak Haji Mahmud."
"Oh iyya Pak, trima kasih banyak atas informasinya,"Kata Suci sambil tersenyum senang. Bapak itu menjawab, "Sama-sama Nak, kamu mau diantar ke sana kah?" Suci berkata, "Oh ndak usah Pak, trima kasih banyak."
Suci menyusuri jalan sambil celingak celinguk memperhatikan rumah sekelilingnya. Dia takut rumah yang ditujunya terlewati. Ternyata betul yang disampaikan bapak tadi. Ada sebuah rumah, yang terletak di ujung jalan, sama persis seperti yang dikatakan sang bapak. Suci memasuki rumah Haji Mahmud. Lalu mengetok pintu. Tok..tok...tok.. Suci bertanya, "Assalamu alaikum, apa ada orang di dalam?" Tiba-tiba seorang ibu membuka pintu dan menjawab salam Suci. "Waalaikum salam, iyya Nak, cari siapa?" Tanya ibu itu. Suci menjawab, "Betulkah ini rumah Pak Haji Mahmud? Kmarin saya menemukan dompet, di dalamnya ada KTP atas nama Haji Mahmud. Apa Pak Haji Mahmud ada di rumah, Bu?" Ibu itu menjawab, "Iyya betul, ini rumah Haji Mahmud. Ibu panggilkan yah?". "Iyya Bu,"Jawab Suci.
Tak lama kemudian, seorang bapak keluar dari kamar diiringi ibu tadi. Ternyata ibu itu, isterinya Haji Mahmud. Raut muka Haji Mahmud tampak cerah. Bapak itu kelihatan sangat gembira. Lalu pak Haji bertanya kepada Suci, "Betulkah kamu telah menemukan dompetku, Nak?" Iyya betul pak, ini dompetnya."Jawab Suci, sambil mengulurkan sebuah dompet ke arah Haji Mahmud. Pak Haji kemudian memeriksa dompet itu. Pak Haji keheranan karena dompetnya masih utuh. Di jaman sekarang ini sulit menemukan orang jujur. Masih ada memang, tapi sudah langka. Pak Haji sudah membayangkan uangnya sudah hilang . Beliau sudah pasrah kalau uang di dompetnya hilang, yang penting surat-surat berharganya dikembalikan. Tapi ternyata, uang di dompet itu masih utuh.
Kemudian, pak Haji mengucapkan terima kasih kepada Suci yang telah mengembalikan dompetnya. Dompet yang masih utuh isinya. Beliau berkata, "Syukur alhamdulillah, engkau yang menemukan dompetku Nak. Saya tidak tau, kalau orang lain yang temukan dompetku. Barangkali uangnya sudah raib. Terima kasih banyak yah, Nak." Sambil tersenyum, Suci menjawab, "Sama-sama Pak." Sebagai ucapan terima kasih, pak Haji mengambil selembar uang seratus ribu di dalam dompetnya, dan berkata, "Ambillah uang ini Nak, sebagai ucapan terima kasihku kepadamu." Suci menolak dan berkata,"Tidak usah Pak, ibuku slalu mengajariku, ketika menolong orang jangan mengharap balasan." Pak Haji terkesima dan berkata, "Sungguh luar biasa ibumu Nak, yang telah mengajarimu kejujuran dan keikhlasan. Siapa nama ibumu nak? Oh yah, saya lupa, di mana kalian tinggal?" Suci lalu menceritakan tentang dirinya, keluarganya serta tempat tinggalnya. Pak Haji dan isterinya kelihatan sedih mendengar cerita Suci. Ternyata Suci seorang anak yatim.
Pak Haji Mahmud dan istrinya kemudian berunding. Ternyata mereka berkeinginan mengangkat Suci sebagai anak angkat mereka. Mereka berencana membiayai sekolah Suci sampai selesai kuliah. Kebetulan mereka tidak punya anak. Lalu mereka menyampaikan keinginan tersebut kepada Suci. Suci sangat senang mendengarnya. Suci berkata, "Bapak Haji dan Ibu yang baik, terima kasih sudah mau mengangkatku sebagai anak angkat. Sepulang ke rumah, nanti Suci sampaikan kepada ibu Suci." Pak Haji membalas, " Iyya Nak, sampaikan salam kami kepada ibumu. Nanti kami juga mau ke rumahmu, menyampaikan rencana kami." Suci menjawab, "Iyya, nanti saya sampaikan salamnya Pak Haji. Kalau begitu saya pamitan dulu Bapak Ibu."
Setelah mengucapkan salam, Suci berlalu dari rumah Pak Haji Mahmud dengan riangnya. Suci sangat bersyukur ada keluarga yang mau membiayai sekolahnya. Sesampai di rumah, Suci menceritakan perjalanannya ke rumah Pak Haji Mahmud kepada ibunya. Menceritakan keinginan keluarga pak Haji Mahmud mengangkatnya sebagai anak dan membiayai pendidikannya sampai selesai. Ibu Suci kemudian memeluk anaknya. Beliau sangat senang mendengar berita itu. Dan bersyukur dengan semua yang terjadi. Harapannya hanya satu, agar anaknya mendapat pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lain.
Kehidupan mereka sangatlah sederhana. Ibunya menjadi tukang cuci pakaian di rumah tetangga dan juga membuat gorengan untuk dijual oleh Suri. Pekerjaan menggoreng barang jualan dikerjakan sebelum ibunya pergi mencuci pakaian di rumah tetangga. Kebetulan Suci masuk sekolahnya siang hari. Jadi sebelum ke sekolah, Suci menjajakan dulu gorengannya.
Pada suatu hari yang cerah, Suci menjajakan gorengannya. Banyak pembeli yang membeli jualannya. Tinggal beberapa buah lagi di dalam kotak jualannya. Suci berucap, "Alhamdulillah, tinggal beberapa buah lagi jualanku." Suci kembali mengitari kampung untuk menjual gorengan yang tersisa. Tiba-tiba ada seorang ibu yang memanggil. "Pisang goreng...pisang goreng, masih adakah pisang gorengnya Suci?"Tanya ibu itu. Suci menjawab, "Masih ada Bu, masih ada lima buah." Ibu itu menjawab, "Oh kalau begitu, ibu beli semuanya." Suci lalu membungkus pisang goreng pesanan ibu itu. Dan ibu itu membayarnya.
Dengan hati yang riang gembira, Suci pulang ke rumah. Untuk bersiap-siap ke sekolah. Dalam perjalanan pulang ke rumah, tiba-tiba ia melihat sebuah dompet tergeletak di pinggir jalan. Suci menggumam, wah dompet siapa ini yah. Suci kemudian membuka dompet itu. Siapa tahu ada tanda pengenal yang punya dompet. Betapa terkejutnya dia ketika terlihat beberapa lembar uang seratus ribu di dalam dompet itu.
Entah mengapa terlintas di benak Suci, ia butuh uang itu. Tasnya sudah rusak, resletingnya terbuka. Sepatunya juga sudah tua. Hampir bolong lagi. Pertentangan pun terjadi di hati Suci. Antara mau mengambil uang itu atau mengembalikannya kepada sang pemilik dompet. Tetapi, akhirnya dibawa juga dompet itu pulang ke rumah.
Sesaat kemudian Suci sampai di rumah. Ibu lagi duduk-duduk di ruang tamu. Ibu menyambut Suci, dan berkata, "Nak, makan dulu yah sebelum ke sekolah." Suci membalas, "Iyya Bu." Kemudian, Suci menceritakan kepada ibunya bahwa ia telah menemukan sebuah dompet. Ibunya lalu berkata, "Nak, kembalikan dompet itu. Kita tidak berhak mengambilnya." Dengan sedih Suci menjawab, "Ibu, bukankah kita butuh uang untuk membelikan saya tas dan sepatu. Tas dan sepatu saya sudah rusak, Bu." Lalu dengan lembut ibu Suci membelai rambut anak semata wayangnya itu dan berkata, "Anakku sayang, memang kita lagi butuh uang tapi uang dalam dompet itu bukan punya kita. Mungkin saat ini orang yang punya dompet sangat sedih. Jadi kembalikanlah nak." Suci menjawab, "Iyya Bu. Klo begitu, besok pagi saya kembalikan dompet ini kepada pemiliknya." Dengan lega ibu Suci berkata, "Begitu dong Nak, jangan sedih yah. Ibu juga lagi kumpul duit nih. Supaya ibu bisa beli tas dan sepatu baru untukmu, sayang."
Suci dan ibunya kemudian memeriksa dompet itu. Mereka menemukan sebuah KTP dan beberapa kartu lainnya. Di KTP tertera nama dan alamat yang jelas. Ternyata pemilik dompet seorang haji yang bernama Haji Mahmud, yang tinggalnya di kampung sebelah, Kampung Rambutan.
Keesokan harinya, kebetulan hari itu hari Minggu, Suci berangkat ke kampung Rambutan. Tentu saja sambil membawa jualannya. Di sepanjang jalan, gorengan Suci dibeli anak-anak maupun orang tua. Mereka suka dengan pisang goreng buatan Ibu Suci. Manis alami karna buah pisang yang digoreng ibu Suci buah yang matang di pohon, bukan karbitan. Tak berapa lama kemudian, sampailah Suci di Kampung Rambutan. Di sebuah pos ronda, beberapa warga kampung Rambutan lagi duduk mengobrol. Kepada mereka, Suci berkata, "Bapak-bapak bolehkah saya bertanya." Seorang bapak dengan tersenyum, menjawab, "Boleh saja Nak, apa yang hendak Anak tanyakan?" Suci menjawab, "Saya mau tanya, di mana rumah Pak Haji Mahmud." Bapak itu menjawab,"Oh rumah Pak Haji Mahmud, yah. Rumah Pak Haji Mahmud itu di ujung jalan ini. Rumah bertingkat dua. Bercat Kuning Cerah. Ada pohon Mangga dan Pepaya di halamannya. Coba jalan saja terus sampai kamu menemukan rumah Pak Haji Mahmud."
"Oh iyya Pak, trima kasih banyak atas informasinya,"Kata Suci sambil tersenyum senang. Bapak itu menjawab, "Sama-sama Nak, kamu mau diantar ke sana kah?" Suci berkata, "Oh ndak usah Pak, trima kasih banyak."
Suci menyusuri jalan sambil celingak celinguk memperhatikan rumah sekelilingnya. Dia takut rumah yang ditujunya terlewati. Ternyata betul yang disampaikan bapak tadi. Ada sebuah rumah, yang terletak di ujung jalan, sama persis seperti yang dikatakan sang bapak. Suci memasuki rumah Haji Mahmud. Lalu mengetok pintu. Tok..tok...tok.. Suci bertanya, "Assalamu alaikum, apa ada orang di dalam?" Tiba-tiba seorang ibu membuka pintu dan menjawab salam Suci. "Waalaikum salam, iyya Nak, cari siapa?" Tanya ibu itu. Suci menjawab, "Betulkah ini rumah Pak Haji Mahmud? Kmarin saya menemukan dompet, di dalamnya ada KTP atas nama Haji Mahmud. Apa Pak Haji Mahmud ada di rumah, Bu?" Ibu itu menjawab, "Iyya betul, ini rumah Haji Mahmud. Ibu panggilkan yah?". "Iyya Bu,"Jawab Suci.
Tak lama kemudian, seorang bapak keluar dari kamar diiringi ibu tadi. Ternyata ibu itu, isterinya Haji Mahmud. Raut muka Haji Mahmud tampak cerah. Bapak itu kelihatan sangat gembira. Lalu pak Haji bertanya kepada Suci, "Betulkah kamu telah menemukan dompetku, Nak?" Iyya betul pak, ini dompetnya."Jawab Suci, sambil mengulurkan sebuah dompet ke arah Haji Mahmud. Pak Haji kemudian memeriksa dompet itu. Pak Haji keheranan karena dompetnya masih utuh. Di jaman sekarang ini sulit menemukan orang jujur. Masih ada memang, tapi sudah langka. Pak Haji sudah membayangkan uangnya sudah hilang . Beliau sudah pasrah kalau uang di dompetnya hilang, yang penting surat-surat berharganya dikembalikan. Tapi ternyata, uang di dompet itu masih utuh.
Kemudian, pak Haji mengucapkan terima kasih kepada Suci yang telah mengembalikan dompetnya. Dompet yang masih utuh isinya. Beliau berkata, "Syukur alhamdulillah, engkau yang menemukan dompetku Nak. Saya tidak tau, kalau orang lain yang temukan dompetku. Barangkali uangnya sudah raib. Terima kasih banyak yah, Nak." Sambil tersenyum, Suci menjawab, "Sama-sama Pak." Sebagai ucapan terima kasih, pak Haji mengambil selembar uang seratus ribu di dalam dompetnya, dan berkata, "Ambillah uang ini Nak, sebagai ucapan terima kasihku kepadamu." Suci menolak dan berkata,"Tidak usah Pak, ibuku slalu mengajariku, ketika menolong orang jangan mengharap balasan." Pak Haji terkesima dan berkata, "Sungguh luar biasa ibumu Nak, yang telah mengajarimu kejujuran dan keikhlasan. Siapa nama ibumu nak? Oh yah, saya lupa, di mana kalian tinggal?" Suci lalu menceritakan tentang dirinya, keluarganya serta tempat tinggalnya. Pak Haji dan isterinya kelihatan sedih mendengar cerita Suci. Ternyata Suci seorang anak yatim.
Pak Haji Mahmud dan istrinya kemudian berunding. Ternyata mereka berkeinginan mengangkat Suci sebagai anak angkat mereka. Mereka berencana membiayai sekolah Suci sampai selesai kuliah. Kebetulan mereka tidak punya anak. Lalu mereka menyampaikan keinginan tersebut kepada Suci. Suci sangat senang mendengarnya. Suci berkata, "Bapak Haji dan Ibu yang baik, terima kasih sudah mau mengangkatku sebagai anak angkat. Sepulang ke rumah, nanti Suci sampaikan kepada ibu Suci." Pak Haji membalas, " Iyya Nak, sampaikan salam kami kepada ibumu. Nanti kami juga mau ke rumahmu, menyampaikan rencana kami." Suci menjawab, "Iyya, nanti saya sampaikan salamnya Pak Haji. Kalau begitu saya pamitan dulu Bapak Ibu."
Setelah mengucapkan salam, Suci berlalu dari rumah Pak Haji Mahmud dengan riangnya. Suci sangat bersyukur ada keluarga yang mau membiayai sekolahnya. Sesampai di rumah, Suci menceritakan perjalanannya ke rumah Pak Haji Mahmud kepada ibunya. Menceritakan keinginan keluarga pak Haji Mahmud mengangkatnya sebagai anak dan membiayai pendidikannya sampai selesai. Ibu Suci kemudian memeluk anaknya. Beliau sangat senang mendengar berita itu. Dan bersyukur dengan semua yang terjadi. Harapannya hanya satu, agar anaknya mendapat pendidikan yang layak seperti anak-anak yang lain.