Rabu, 26 Januari 2022

Sayyidah Fatimah Zahra dan Perempuan Makassar

 Sayyidah Fatimah Zahra dan Perempuan Makassar






Oleh : Rajab S. Daeng Mattayang

Sekali-sekali cobalah bertandang ke pemukiman orang-orang Makassar. Apalagi kalau memang mukim di daerah-daerah yang didiami oleh mereka yang berbahasa Makassar. Coba perhatikan nama-nama perempuan di antara mereka.

Anda akan dengan mudah menemukan nama-nama seperti : Tima, Mima, Ati, Pati, Tati, Patma, Ima, Sati, Patimang, Patimasang dan Fatima atau Patima.

Nyata sekali bahwa nama-nama itu adalah adaptasi sekaligus variasi dari nama Bunda Fatimah Zahra, Putri tersayang Nabiullah Muhammad sekaligus istri dari Baginda Ali Bin Abi Thalib.

Pemberian nama semacam itu, bagi orang Makassar, sadar atau tidak sadar, merupakan suatu penghormatan terhadap Sayyidah Fatimah. Barangkali, yang kurang, adalah mereka kurang mengenal siapa sejatinya  Wanita Termulia Sejagat Raya tersebut.

Kalau saja masyarakat Sulawesi Selatan lebih intim dengan wanita termulia sejagad tersebut, bukan hanya sekadar pemberian nama saja yang sudah menjadi kelaziman, tapi juga betul-betul dapat dijadikan teladan sempurna. Bukan hanya bagi perempuan tapi juga laki-laki sekali pun. Teladan bagi setiap insan.

Yang perlu disebarluaskan adalah keagungan Bunda Fatimah sebagai salah satu manusia yang disucikan, sebagaimana dinyatakan dalam Alquran surah Al-Ahzab; 33. Sebenarnya sangat banyak riwayat yang menceritakan tentang keutamaan tersebut.

Sebagian kecil di antaranya adalah sabda Rasulullah “Adapun putriku Fathimah, dia adalah penghulu wanita sejagat, baik dari kalangan orang-orang yang terdahulu maupun orang yang kemudian”. Di riwayat lain disebutkan “Cukuplah wanita-wanita ini sebagai panutan kalian, yaitu Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan Asiyah binti Muzahim (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Yang menarik disimak adalah bahwa kedudukan perempuan betul-betul, dapat dianggap sederajat dengan laki-laki dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Perempuan tidak dimarjinalkan, sebagaimana di banyak masyarakat atau peradaban di berbagai belahan dunia.

Bahkan di jazirah Arab sekalipun, sebelum kedatangan Islam Muhammadi, betapa perempuan tidak dihargai, bahkan kelahirannya terkadang dianggap sebagai aib dan sebagai komoditas belaka, hingga banyak bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup. Jauh beda, ketika bayi laki-laki yang dilahirkan, yang disebut-sebut sebagai suatu keberuntungan.

Tingginya kedudukan perempuan dalam masyarakat Sulawesi Selatan telah banyak dielaborasi. Beberapa di antaranya seperti hasil kajian Raffles pada tahun 1817 (dalam Pelras, 1985:160) bahwa di Sulawesi Selatan perempuan lebih percaya diri daripada yang diharapkan dari peradaban negara-negara lain pada umumnya. Perempuan tidak mengalami penderitaan, kemelaratan atau pekerjaan yang membatasi produktivitasnya sebagaimana di belahan dunia lain.

Crawfurd  (History of Java, 1985) juga mencatat bahwa, di Sulawesi Selatan perempuan tampaknya tidak memiliki skandal dalam masyarakat. Dia berperan aktif dalam semua bisnis dalam kehidupan. Mereka berkonsultasi dengan laki-laki untuk semua urusan publik, dan seringkali naik tahta (menjadi raja), juga terlibat ketika pemilihan raja.

Kesimpulan kedua pakar tersebut tidaklah mengherankan. Tentunya, dengan mencermati bagaimana sejarah kebudayaan dan politik Makassar itu sendiri. Yang saya kira tidak jauh berbeda dalam masyarakat Bugis, Mandar, dan Toraja yang memang serumpun.

Dalam sejarahnya, perempuanlah yang menjadi juru damai terbesar dalam masyarakat Makassar, yang menjadi jalan bagi berdirinya kerajaan Gowa-Tallo, atau juga dikenal sebagai kerajaan Makassar.

To Manurung Bainea atau Putri yang turun dari Kayangan adalah raja pertama Kerajaan Makassar. Tidak tanggung-tanggung, beliau memerintah selama kurang lebih dua puluh lima tahun, 1320-1345 M.

Baine yang berarti perempuan, berasal dari kata bine yang berarti benih padi yang akan ditanam, atau juga bermakna cikal-bakal. 

Dari seorang perempuanlah, To Manurung Bainea, persatuan kerajaan Makassar dapat tercapai. Dimana sebelumnya, seringkali terjadi peperangan dan pertikaian di antara kerajaan-kerajaan kecil. Saat itu, Gowa masih terdiri dari 9 federasi  kerajaan kecil yang disebut Kasuwing, yaitu Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-Parang, Data, Agang Je’ne, Kalling dan Sero.

Paccallaya, sebagai ketua federasi dari kesembilan kerajaan kecil tersebut, tidak mampu mengatasi perang saudara yang kerap terjadi, karena fungsi Paccallaya hanya sebagai lambang dan tidak memiliki otoritas kuat pada anggota persekutuan yang masing-masing memiliki hak otonom.

Di sinilah muncul To Manurung Bainea, yang kemudian diangkat sebagai raja oleh kesembilan federasi tersebut. Tanah Gowa yang sebelumnya hiruk-pikuk dengan peperangan dan pertikaian berubah menjadi sebuah kerajaan yang damai bahkan kelak menjadi salah satu satu kerajaan tersbesar di nusantara, yang kekuasaannya meliputi Sulawesi, sebagian Kalimantan, Nusa Tenggara hingga Australia Utara.

Kontribusi besar dari seorang raja perempuan tersebut, nampaknya, memiliki pengaruh besar dalam menempatkan perempuan sebagai sosok yang istimewa dalam masyarakat Makassar.

Bahkan kelahiran anak perempuan, bagi orang Makassar, seringkali dianggap sebagai suatu anugerah tersendiri. Apalagi bila dikaitkan dengan prasyarat uang panaik ketika akan melangsungkan pernikahan dalam adat istiadat bangsa Makassar. Dimana pihak laki-lakilah yang diwajibkan memberikan uang panaik kepada mempelai perempuan, yang terkadang cukup besar jumlahnya. Kebiasaan ini, tentunya, cukup menguntungkan bagi pihak perempuan kalau ditinjau dari segi sosial ekonomi.

Dalam pranata sosial, menurut adat istiadat Makassar, anak perempuan biasanya dianggap sebagai pewaris rumah tempat ia tinggal bersama orang tuanya, bukan anak laki-laki. Dulu, biasanya, hanya anak perempuanlah yang memiliki kamar pada rumah-rumah orang Makassar. Anak lelaki dibiarkan tidur di mana saja. Apakah di ruang tamu, atau teras rumah.

Dengan menilik selintas sejarah di atas, kita tentunya sangat optimis bahwa keteladanan Bunda Fatimah betul-betul dapat membumi di Sulawesi Selatan pada umumnya, karena adanya dukungan historis yang memang sangat memuliakan wanita.

Yang dibutuhkan ke depan adalah bagaimana membudayakan segenap aspek keteladanan bunda Fathimah di setiap aspek kehidupan yang kompleks.

Diposting pertama kali di :
Situs Sungai Kenabian, 17 Pebruari 2020

 gambar : http://madinatulfata.dayah.web.id