Senin, 10 Desember 2018

Sebuah Permintaan

Seorang bapak singgah di depan sebuah rumah. Bapak itu memberi salam, "Assalamu 'alaikum." Tuan rumah, seorang ibu, membalas salamnya, "Waalaikumsalam."

Si bapak duduk di kursi teras dan berkata pada ibu itu, "Ibu, saya mau minta tolong." Ibu itu bertanya, "Iya, minta tolong apa, Pak?" Bapak itu menjawab, "Begini Ibu, saya mau minta jilbab, Bu. Saya mau berikan pada adikku yang mau masuk pesantren."

Ibu itu menjawab, "Oh iya, Pak. Saya juga kurang jilbabku, Pak. Saya biasa sumbangkan kalau ada yang butuh." Bapak itu menukas, "Yang ada saja, Bu." Ibu itu membalas, "Ada memang Pak, tapi saya jarang beli jilbab. Apalagi sekarang mesin cuci rusak dan saya sibuk, jilbab belum dicuci, Pak."

Bapak itu bilang, "Tolong Bu, ini untuk adekku yang mau masuk pesantren, biar yang kotor saja, Bu." Ibu itu merasa aneh, kok kayak ada nada pemaksaan dalam nada bicara si Bapak. Ibu itu bilang, "Minta Maaf ya, Pak. Insya Allah lain kali ya."

Bapak itu bergegas berdiri lalu bilang sama si ibu, "Kalau begitu tidak usah, Bu. Ibu sombong sekali." Lalu, Bapak itu berlalu dengan membawa bungkusan kantong kresek hitamnya. Entah apa isinya.

Dan ibu itupun melongo dan berbisik, "Astagfirullah...Duh Tuhan, salahkah diriku 😢?"

#KisahRenungan

DIARY

Dulu sekitar tahun 1980-1990an, ada kebiasaan menulis diary yang dilakukan oleh remaja usia SMP-SMA. Diary yang dimaksud pada waktu itu bukanlah buku untuk menulis catatan harian kegiatan. Tetapi diary yang dimaksud itu adalah buku agenda yang cantik yang biasanya diisi oleh teman-teman satu kelas. Biasanya yang punya diary adalah remaja cewek. Yang cowok bukannya tidak ada, tapi pada umumnya yang biasa punya buku diary ini kebanyakan yang cewek.



Sebelum buku diary itu diberikan kepada teman sekelas, si pemilik menulis terlebih dahulu. Yang ditulis itu tentang nama, alamat, cita-cita, hobby dan motto. Apalagi yah? Saya sudah lupa. Paling menyenangkan jika semua teman menulis di diary yang kita miliki. Dari semua yang dituliskan itu ada satu hal yang menarik. Yaitu motto. Motto yang paling sering dituluskan itu adalah One by One. Dan hampir sebagian besar yang isi diary menulis seperti itu.

One by one. Pada waktu itu saya tidak mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud dengan motto itu. One by one atau satu tetap satu. Bahkan ada yang menambahkan, one by one, satu tetap satu, tidak mungkin jadi dua, dan haram menjadi tiga. Entah apa yang dimaksud kalimat itu, karena pada waktu itu, yang menulis motto itu rata-rata tidak punya pacar. Karena pada waktu itu yang namanya pacaran tidak selazim seperti sekarang.

Dulu jaman SMP kita masih lugu-lugu, tidak seperti sekarang masih SD sudah punya "yayang-yayang." Terlihat dari beberapa postingan beberapa teman FB saya masih di bawah umur. Sering mengucapkan pada temannya yang lagi berulang tahun pacarannya. "Pianiv 1month yah, semoga langgeng. Pianiv 3 month yah, semoga bertambah sayangnya." Pianiv maksudnya happy anniversary. Membacanya aku jadi geli sekaligus miris. Kasihan sebagian anak-anak sekarang, semestinya pada usia seperti itu, bagus-bagusnya berteman, eh ini malah pacar-pacaran.

Jadi, One by One, motto yang paling favorit dituliskan oleh teman-teman pada waktu itu. Entah apa yang mendasarinya atau alasannya mengapa memilih motto itu. Apakah karena motto itu terlanjur terkenal atau apa?

#Kenangan
#FreeWriting

Selasa, 04 Desember 2018

Intoleransi

Saya pernah mengunfriend seseorang. Alasan saya memutus pertemanan dengannya karena saya menilai dia intoleran. Banyak yang memanggil dia habib saat berkomentar di statusnya. Statusnya bagus-bagus. Kecintaan terhadap Rasul dan keluarga Rasul. Banyak yang like dan share. Saya juga senang membacanya. Tetapi, kalau menyinggung tentang muslimah bercadar, dia sepertinya anti banget.

Pernah teman fbku itu memosting gambar tentang muslimah bercadar yang lagi berendam di kolam renang. Dia beri caption "Ikan Pari Ngambang". Kaget juga melihat statusnya. Kok ada habib postingannya begitu sih. Apa untuk kesenangan semata. Happy fun atau apa? Lalu banyak komentar negatif yang muncul di postingan tersebut. Dia beri emoticon ketawa. Sesekali dia menanggapi dengan ber haha hihi. Betapa senangnya dia dengan cemoohan terhadap saudarinya yang muslimah. Bukankah setiap muslim itu bersaudara? Mau dia berjilbab, bercadar, atau belum berjilbab, tetaplah saudara.

Ketidaksukaan terhadap muslimah bercadar itu memang biasa. Banyak komentar miring terhadapnya. Tetapi kalau seorang habib seperti itu alangkah sayangnya. Karena hasil pembacaan saya tentang bunda Fatimah dan isteri-isteri Rosulullah, mereka itu bercadar. Mungkin tidak seperti model cadar (penutup muka) yang dipakai di Indonesia. Walaupun dikatakan bahwa cadar itu budaya Arab. Atau budaya Yahudi sekali pun. Itu tidak menjadi masalah. Itu pilihan masing-masing person.

Setiap orang punya kebebasan dalam menentukan pilihannya, begitu pula dalam hal berpakaian. Selama masih sopan dan tidak mengganggu orang lain. Begitu juga dengan seorang muslimah. Mau bercadar, berjilbab atau tidak berjilbab sekalipun. Menghargai pilihan orang lain itu lebih baik daripada menghinanya.

By : Hamsinah Hamid

#IbukIbukMenulis