Tetiba aku berdiri sambil menghentakkan kaki. Seperti berlari meninggalkan ruangan. Ruangan tempat dimana aku menjadi seperti seorang pesakitan. Yang akan diadili karena kesalahan yang telah kuperbuat.
Sebelumnya, Tuti memanggilku ke rumah nene' Ummi untuk membicarakan satu hal. Bersama saudara-saudara yang lain, mama dan nene' Ummi. Saya menyangka masalah yang akan dibicarakan nantinya berkaitan dengan dinding rumah yang akan diperbaiki. Rumah mama yang kutempati sekarang sudah dibagi dua. Sepotong untuk tante Dina, saudaraku yang tinggal di Tarakan dan sepotongnya lagi diberikan kepada tante Ati, saudara sulungku. Dan sepotongnya sudah dibeli pihak puskesmas. Tempat yang dibeli puskesmas itu akan dibongkar. Untuk menjadi akses masuk ke Puskesmas. Selama ini puskesmas letaknya di belakang rumah. Masalahnya, ketika dibongkar, tidak lagi penopang dan penutup dinding rumah. Selain tripleks yang dipasang di rumah Dina. Akibatnya klo hujan bisa kebasahan.
Sungguh aku kaget sekali. Tak pernah terbayangkan. Bagaikan petir menyambar, kilat menyambar dan guntur menggodam. Aku seperti tersengat aliran listrik. Ketika nenek Ummi bilang," Bagaimana itu gaddea di luar, katena nia antu situju nisareangko anjo, kajaiki assaribattang, mallaka sallang sisala-salako. Talebakkako anjo kusareang. Sementaraji nupake." Astagfirullah, sontak aku bangkit dari tempat dudukku dan bilang,"Kukana tuntasmi. Apapoeng ero' ribicarakang." Lantas aku angkat kaki secepat kilat dari situ. Dengan suara kaki berdebum-debum. Saking kagetku. Saudara-saudaraku dan tanteku dan mamakku sontak memanggil-manggilku,"Ooee..ooee tayangi rong." Saya tidak peduli lagi. Saya harus secepatnya meninggalkan tempat itu.
Aku sedih sekali. Tega sekali ummi dan saudara-saudaraku memperlakukan aku seperti itu. Pantaskah barang yang sudah diberikan tidak diakui lagi. Ummi menolak mengakui bahwa gaddea itu sudah diberikannya kepadaku. Katanya Pia tidak pernah ikhlas dengan pemberian itu. Karena sudah diberikan padanya semua tanah milik ummi itu. Jadi, saudara-saudaraku yang lain hanya percaya pada Pia dan tidak padaku..hiks..hiks..
Tapi, Aku merasa yakin. Bahwa tempat itu diberikan kepadaku. Dengan alasan,
Pertama,
Tidak mungkin suamiku membangun toko di atasnya kalo tempat itu belum diberikan kepada saya. Suami sangat perasa. Dan tak akan mungkin bergerak, klo tak ada kepastian hak.
Kedua,
Dulu, ketika masih berbentuk toko, belum dipindahkan ke depan (tempat Dina), klo ada ummi di depan toko, selalu ummi bilang kepada pelanggan yang dikenalnya,"Kusareangtongmi anne kodong tempatka, ka eroki appare usaha na riboko kodong balla'na".
Ketiga,
Pernah aku sudah mau buatkan surat sertikat, rumah yang kutempati dan tempat kecil pemberian ummi itu. Dan ummi sama Pia diam-diam dan santai-santai saja mendengarnya. Lantas Pia bilang, mauku juga bikin surat ini tempatku tapi tidak ada uangku. Tapi, rencana untuk bikin surat itu tidak jadi. Padahal sudah dicek oleh suami ke Kecamatan rinciknya. Bahkan Pia bilang, liat baik-baik ukurannya. Sejajar itu kamar ke depan tokomu.
Ke empat,
Belum cukup sebulan saya sudah perbaiki renovasi tempat itu lagi. Menimbunnya. Membeli timbunan dan mengongkosi pengangkatan timbunannya. Lalu saya ganti tegelnya yang baru. Tidak ada komplain dari mereka. Kenapa, tidak melarangku kalau tempat itu hanya sementara kupakai.
Jadi, saya pikir tidak ada masalah lagi. Tak pernah terpikirkan bahwa sekarang akan diungkit-ungkit lagi tempat itu. Mungkin, karena sekarang akses ke puskemas sudah terbuka. Dan tentu saja akan lebih ramai kondisinya nanti. Saudaraku, berniat menjual-jual juga. Dan untuk lebih mudahnya, mengambil kembali tempat yang telah diberikan ummi padaku.
Sebelumnya, Tuti memanggilku ke rumah nene' Ummi untuk membicarakan satu hal. Bersama saudara-saudara yang lain, mama dan nene' Ummi. Saya menyangka masalah yang akan dibicarakan nantinya berkaitan dengan dinding rumah yang akan diperbaiki. Rumah mama yang kutempati sekarang sudah dibagi dua. Sepotong untuk tante Dina, saudaraku yang tinggal di Tarakan dan sepotongnya lagi diberikan kepada tante Ati, saudara sulungku. Dan sepotongnya sudah dibeli pihak puskesmas. Tempat yang dibeli puskesmas itu akan dibongkar. Untuk menjadi akses masuk ke Puskesmas. Selama ini puskesmas letaknya di belakang rumah. Masalahnya, ketika dibongkar, tidak lagi penopang dan penutup dinding rumah. Selain tripleks yang dipasang di rumah Dina. Akibatnya klo hujan bisa kebasahan.
Sungguh aku kaget sekali. Tak pernah terbayangkan. Bagaikan petir menyambar, kilat menyambar dan guntur menggodam. Aku seperti tersengat aliran listrik. Ketika nenek Ummi bilang," Bagaimana itu gaddea di luar, katena nia antu situju nisareangko anjo, kajaiki assaribattang, mallaka sallang sisala-salako. Talebakkako anjo kusareang. Sementaraji nupake." Astagfirullah, sontak aku bangkit dari tempat dudukku dan bilang,"Kukana tuntasmi. Apapoeng ero' ribicarakang." Lantas aku angkat kaki secepat kilat dari situ. Dengan suara kaki berdebum-debum. Saking kagetku. Saudara-saudaraku dan tanteku dan mamakku sontak memanggil-manggilku,"Ooee..ooee tayangi rong." Saya tidak peduli lagi. Saya harus secepatnya meninggalkan tempat itu.
Aku sedih sekali. Tega sekali ummi dan saudara-saudaraku memperlakukan aku seperti itu. Pantaskah barang yang sudah diberikan tidak diakui lagi. Ummi menolak mengakui bahwa gaddea itu sudah diberikannya kepadaku. Katanya Pia tidak pernah ikhlas dengan pemberian itu. Karena sudah diberikan padanya semua tanah milik ummi itu. Jadi, saudara-saudaraku yang lain hanya percaya pada Pia dan tidak padaku..hiks..hiks..
Tapi, Aku merasa yakin. Bahwa tempat itu diberikan kepadaku. Dengan alasan,
Pertama,
Tidak mungkin suamiku membangun toko di atasnya kalo tempat itu belum diberikan kepada saya. Suami sangat perasa. Dan tak akan mungkin bergerak, klo tak ada kepastian hak.
Kedua,
Dulu, ketika masih berbentuk toko, belum dipindahkan ke depan (tempat Dina), klo ada ummi di depan toko, selalu ummi bilang kepada pelanggan yang dikenalnya,"Kusareangtongmi anne kodong tempatka, ka eroki appare usaha na riboko kodong balla'na".
Ketiga,
Pernah aku sudah mau buatkan surat sertikat, rumah yang kutempati dan tempat kecil pemberian ummi itu. Dan ummi sama Pia diam-diam dan santai-santai saja mendengarnya. Lantas Pia bilang, mauku juga bikin surat ini tempatku tapi tidak ada uangku. Tapi, rencana untuk bikin surat itu tidak jadi. Padahal sudah dicek oleh suami ke Kecamatan rinciknya. Bahkan Pia bilang, liat baik-baik ukurannya. Sejajar itu kamar ke depan tokomu.
Ke empat,
Belum cukup sebulan saya sudah perbaiki renovasi tempat itu lagi. Menimbunnya. Membeli timbunan dan mengongkosi pengangkatan timbunannya. Lalu saya ganti tegelnya yang baru. Tidak ada komplain dari mereka. Kenapa, tidak melarangku kalau tempat itu hanya sementara kupakai.
Jadi, saya pikir tidak ada masalah lagi. Tak pernah terpikirkan bahwa sekarang akan diungkit-ungkit lagi tempat itu. Mungkin, karena sekarang akses ke puskemas sudah terbuka. Dan tentu saja akan lebih ramai kondisinya nanti. Saudaraku, berniat menjual-jual juga. Dan untuk lebih mudahnya, mengambil kembali tempat yang telah diberikan ummi padaku.