Minggu, 27 November 2016

Sepetak Tanah Pemberian Ummi

Tetiba aku berdiri sambil menghentakkan kaki. Seperti berlari meninggalkan ruangan. Ruangan tempat dimana aku menjadi seperti seorang pesakitan. Yang akan diadili karena kesalahan yang telah kuperbuat.

Sebelumnya, Tuti memanggilku ke rumah nene' Ummi untuk membicarakan satu hal. Bersama saudara-saudara yang lain, mama dan nene' Ummi. Saya menyangka masalah yang akan dibicarakan nantinya berkaitan dengan dinding rumah yang akan diperbaiki. Rumah mama yang kutempati sekarang sudah dibagi dua. Sepotong untuk tante Dina, saudaraku yang tinggal di Tarakan dan sepotongnya lagi diberikan kepada tante Ati, saudara sulungku. Dan sepotongnya sudah dibeli pihak puskesmas. Tempat yang dibeli puskesmas itu akan dibongkar. Untuk menjadi akses masuk ke Puskesmas. Selama ini puskesmas letaknya di belakang rumah. Masalahnya, ketika dibongkar, tidak lagi penopang dan penutup dinding rumah. Selain tripleks yang dipasang di rumah Dina. Akibatnya klo hujan bisa kebasahan.

Sungguh aku  kaget sekali. Tak pernah terbayangkan. Bagaikan petir menyambar, kilat menyambar dan guntur menggodam. Aku seperti tersengat aliran listrik. Ketika nenek Ummi bilang," Bagaimana itu gaddea di luar, katena nia antu situju nisareangko anjo, kajaiki assaribattang, mallaka sallang sisala-salako. Talebakkako anjo kusareang. Sementaraji nupake." Astagfirullah, sontak aku bangkit dari tempat dudukku dan bilang,"Kukana tuntasmi. Apapoeng ero' ribicarakang." Lantas aku angkat kaki secepat kilat dari situ. Dengan suara kaki berdebum-debum. Saking kagetku. Saudara-saudaraku dan tanteku dan mamakku sontak memanggil-manggilku,"Ooee..ooee tayangi rong." Saya tidak peduli lagi. Saya harus secepatnya meninggalkan tempat itu.

Aku sedih sekali. Tega sekali ummi dan saudara-saudaraku memperlakukan aku seperti itu. Pantaskah barang yang sudah diberikan tidak diakui lagi. Ummi menolak mengakui bahwa gaddea itu sudah diberikannya kepadaku. Katanya Pia tidak pernah ikhlas dengan pemberian itu. Karena sudah diberikan padanya semua tanah milik ummi itu. Jadi, saudara-saudaraku yang lain hanya percaya pada Pia dan tidak padaku..hiks..hiks..

Tapi, Aku merasa yakin. Bahwa tempat itu diberikan kepadaku. Dengan alasan,

Pertama,

Tidak mungkin suamiku membangun toko di atasnya kalo tempat itu belum diberikan kepada saya. Suami sangat perasa. Dan tak akan mungkin bergerak, klo tak ada kepastian hak.

Kedua,

Dulu, ketika masih berbentuk toko, belum dipindahkan ke depan (tempat Dina), klo ada ummi di depan toko, selalu ummi bilang kepada pelanggan yang dikenalnya,"Kusareangtongmi anne kodong tempatka, ka eroki appare usaha na riboko kodong balla'na".

Ketiga,

Pernah aku sudah mau buatkan surat sertikat, rumah yang kutempati dan tempat kecil pemberian ummi itu. Dan ummi sama Pia diam-diam dan santai-santai saja mendengarnya. Lantas Pia bilang, mauku juga bikin surat ini tempatku tapi tidak ada uangku. Tapi, rencana untuk bikin surat itu tidak jadi. Padahal sudah dicek oleh suami ke Kecamatan rinciknya. Bahkan Pia bilang, liat baik-baik ukurannya. Sejajar itu kamar ke depan tokomu.

Ke empat,

Belum cukup sebulan saya sudah perbaiki renovasi tempat itu lagi. Menimbunnya. Membeli timbunan dan mengongkosi pengangkatan timbunannya. Lalu saya ganti tegelnya yang baru. Tidak ada komplain dari mereka. Kenapa, tidak melarangku kalau tempat itu hanya sementara kupakai.

Jadi, saya pikir tidak ada masalah lagi. Tak pernah terpikirkan bahwa sekarang akan diungkit-ungkit lagi tempat itu. Mungkin, karena sekarang akses ke puskemas sudah terbuka. Dan tentu saja akan  lebih ramai kondisinya nanti. Saudaraku, berniat menjual-jual juga. Dan untuk lebih mudahnya, mengambil kembali tempat yang telah diberikan ummi padaku.

Kamis, 17 November 2016

Di antara Dua Amanah



Saya bersedia ditempatkan dimanapun dan jadi apapun. Begitulah jawabanku ketika ditanya kesediaanku untuk menjadi panitia musyawarah FKM. Sekjen pada waktu itu berkata, okelah kalau begitu. Usai, percakapannya dengan ketum FKM, katanya saya ditempatkan jadi sekretaris panitia. Saya terima amanah itu karena saya memang punya pengalaman sebagai seorang sekretaris. Saya pernah jadi sekretaris IPPNU (Ikatan Putri-Putri Nahdlatul Ulama) Kota Makassar.

Alhamdulillah, kak Mauliah Mulkin sebagai stering sangat membantu tugasku dalam hal pembuatan proposal dan beliau juga menjadi tempatku berkonsultasi tentang tugas-tugasku. Dan kak Mila, sangat luar biasa menjalankan tugasnya selaku ketua panitia. Saya bersyukur sekali punya ketua panitia yang baik hati dan sangat rajin.

Dengan bantuan dan partisipasi dari teman-teman panitia dan pengurus, serta simpatisan FKM, alhamdulillah acara seminar dan musyawarah berjalan dengan lancar dan sukses. Acara seminar bertemakan "Dahsyatnya Kerja Sama Guru dan Orang Tua untuk Hasil Pendidikan yang Berkarakter", yang menghadirkan tiga narasumber, yaitu wawali kota Makassar, Bapak Syamsu Rizal, Kak Ningsih (konsultan pendidikan) dan Kak Herman Kajang. Acara ini dihadiri sekitar 250an peserta, terutama para guru utusan dari sekolah, orang tua utusan dari majelis taklim dan para sahabat yang meluangkan waktunya menghadiri acara seminar ini.

Setelah seminar, musyawarah FKM pun digelar. Akhirnya dari beberapa formatur yang terpilih, setelah berunding diputuskanlah bahwa Kak Asma Khuluq yang menjadi formatur ketua umum. Diumumkan pula pada perundingan itu menetapkan saya sebagai sekretaris jenderal dan kak Irma Suriani sebagai bendahara umum.

Tentu saja saya menolak. Saya merasa tidak pantas menduduki jabatan sekrusial itu. Sepenting itu. Sehebat itu. Sekretaris Jenderal. Jabatan yang mentereng sebenarnya. Tapi saya tak akan sanggup memegang amanah itu. Saya takut. Betul-betul takut. Bagaimana kalau saya tidak bisa melaksanakan amanah itu. Saya menolak. Tolong gantikan saya. Cari yang lebih cocok untuk jabatan strategis itu kasiaaan. Help me. Berbagai alasan telah kukemukakan, tapi ditolak.

Saya pulang dalam keadaan kacau dan galau. Soalnya, daengku sudah mewanti-wanti saya. Sejak jauh-jauh hari agar tidak jadi pengurus inti. Inii..eeh malah ditunjuk jadi sekretaris jenderal. Aah.. aduh kodoong. Bagaimana kuutarakan bahwa saya yang jadi sekjennya. Umminya Atika yang mengantarku pulang menghiburku.

Ketika saya ceritakan bahwa kak Asma yang terpilih jadi ketua umum. Daengku menanyakan siapa sekretarisnya. Saya bilang terus terang saya yang dipilih. Daengku sontak bilang dia tidak melarang saya tapi dia tidak mendukung saya sepenuhnya. Bahwa menjadi sekretaris itu memang keinginanku. Karena saya tidak menolak keras jabatan itu. Iih kodong daeng..abanya Ersyah..Bagaimana caranya menolak. Saya tidak tahu. Saya pasrahmi ini.

Malam itu, saya jadi tak bersemangat ber-WA dan massenger ria dengan teman-teman yang selama ini menemani keseharianku. Sewaktu merencanakan dan mempersiapkan acara seminar dan musyawarah FKM. Keesokan harinya pun demikian. Saya berharap keputusan untuk memilihku jadi sekjen bisa berubah. Berubah. Please, gantilah saya. Ganti dengan teman yang lain. Nanti saya jadi wakilnya saja, ya. Ya...Ya...

Tapi, keputusan itu tak kunjung berubah. Saya tetap sekjen. Kenyataannya, saya adalah sekjen. Saya tak bisa merubah keputusan itu. Dan daengku tak mendukungku sepenuhnya. Oh my God. Berilah saya kekuatan menaklukan hati kekasihku. Saya takkan diantar kalau pergi rapat atau ada kegiatan. Saya harus pergi sendiri. Padahal ada kereta mungil yang menganggur. Boleh dong diantar sesekali daengku. Hik..hik..hik..Tapi tidak apalah. Biar tak diantar yang penting saya diijinkan pergi alias tidak dilarang ke luar. Yang penting tidak terlalu sering-sering keluar-keluar, katanya.

Saat ini saya mencoba untuk berdamai dengan diri. Mencoba memaklumi kecemasan-kecemasan bapaknya anak-anakku. Bagaimana supaya kekhawatiran-kekhawatirannya tidak terbukti. Kekhawatirannya bahwa saya akan lebih banyak disibukkan tugasku dalam organisasi. Khawatir saya akan sering pergi-pergi tinggal anak-anak dan dirinya. Ehhm..Kekhawatirannya bahwa saya tidak bisa membantunya lagi dalam bisnis yang kami perjuangkan bersama sejak nol. Saya harus punya kekuatan dan semangat lebih untuk membuktikan diri bahwa saya sanggup berperan sebagai isteri yang baik, partner kerja yang bisa diandalkan, dan ibu yang penuh kasih, serta seorang pengurus yang amanah menjalankan tanggungjawab organisasi.


Untuk suamiku :

Sekarang, semua sudah terlanjur, sayangku. Saya tidak bisa mundur dari amanah yang terlanjur diberikan kepadaku. Tetapi, engkau dan keluarga kita adalah yang terpenting bagiku di dunia ini. Maka, ijinkanlah saya untuk tetap bersamamu, selalu mendampingimu dalam keadaan senang apalagi susah. Namun harapanku, relakanlah saya untuk memberikan sedikit waktu buat berhimpun dan berjuang bersama saudara-saudaraku dalam kehidupan yang begitu singkat ini.