Senin, 09 Maret 2020

Bukan Jodoh






Pagi yang cerah menjelang siang. Tampak seorang ibu berumur sekitar 60 tahun tengah berbincang dengan adik-adik perempuan Rahmah di depan rumah. Sebelumnya, Rahmah menyaksikan adik-adiknya menyalami Ibu Asiyah, yang masih terlihat cantik itu. Rahmah yang melihat keakraban yang terjalin itu, tersenyum sumringah.
Ibu Asiyah berusia lanjut. Namun, masih tetap cantik itu, bertanya, “Siapa yang namanya Rahmah di sini?”
Adik-adik Rahmah saling berpandangan, lalu mereka serempak tersenyum. Mereka menoleh kepada Rahmah. Rahmah yang masih berada di dalam rumah menjawab, “Oh iye, saya Aji.”  Ibu Asiyah lantas  berbalik  ke arah Rahmah, seraya berkata sambil tertawa kecil, “Hehehe, bukan jodoh di'.”
Rahmah lalu bergabung dengan mereka dan menyalami ibu Asiyah.  Tak lama kemudian, Rahmah dan Fatimah, adiknya, yang sementara menunggu grabcar pamit. Begitu melihat kendaraan yang mereka sudah pesan via aplikasi sudah menghampiri mereka.
Di atas grabcar, Rahmah teringat perkataan yang ditujukan padanya oleh Ibu Asiyah tadi. Bukan jodoh. “Wah, rupanya Ibu Asiyah tahu sedikit banyak tentang hubunganku dengan puteranya. Padahal selama ini aku pikir beliau tidak tahu, “batin Rahmah. Rahmah menghela nafas.
Terbayang dalam ingatan Rahmah ketika ia masih aktif di suatu organisasi remaja. Berawal dari perkumpulan itulah, Rahmah mulai mengenakan jilbab. Setelah ikut training, Rahmah enggan membuka penutup rambut alias jilbabnya. Pernah ada sepupu Rahmah yang bilang, “Bagus itu Rahmah kalau bisa ji bertahan pakai jilbab.” Rahmah cuma ketawa mendengarnya. Ia berikrar dalam hati kalau ia akan tetap pakai jilbab sampai kapanpun.
Ketika itu, kegiatan di organisasi remaja dimana Rahmah berkecimpung di dalamnya, begitu semarak. Cukup banyak kegiatan yang mereka lakukan. Seperti, peringatan hari besar agama Islam, pengajian tiap bulan, bazar, dan juga latihan kader untuk perekrutan anggota. 
Selain menjadi anggota organisasi tersebut, mereka pun menjadi anggota remaja masjid setempat. Kegiatan yang paling berkesan bagi remaja masjid adalah kegiatan pada bulan Ramadhan. Mereka menyiapkan hidangan buka puasa yang berasal dari warga. 
Habis mendengar ceramah mereka sholawat tarwih. Para remaja waktu itu biasanya melakukan sholat tarwih dua puluh rakaat bersama pengurus masjid. Pada saat itu jamaah sudah banyak berkurang. Jamaah umumnya mengambil delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat. Kegiatan yang lain, yang tak kalah berkesannya, yaitu kalau ada yang meninggal dunia, mereka selalu dipanggil pergi mengaji selama tiga malam berturut-turut. Ketika itulah, Rahmah mengenal seorang pemuda yang cukup menarik perhatiannya.
Pemuda itu seorang lulusan dari pesantren yang cukup ternama di Sulawesi Selatan. Pemuda itu bernama Ahmad. Dulu, kalau Ahmad lagi libur, setiap pulang dari pesantren, ia mengajar Rahmah dan teman-temannya bahasa Arab di masjid. Biasanya ia mengajar setiap ba’da Magrib sampai Isya menjelang.
Terkadang, ada teman perempuan Rahmah yang bilang, “Wah, bukan pelajarannya yang jadi fokus perhatian, gurunya ji yang jadi bahan perhatian.” Maklum Ahmad mempunyai perawakan yang cukup atletis dan memiliki rupa yang lumayan menarik perhatian lawan jenisnya.
Setelah lulus dari pesantren, Ahmad melanjutkan sekolahnya di Kota Makassar. Ia kemudian mengikuti training di organisasi pemuda yang sama dengan Rahmah. Selanjutnya, dalam perjalanan dalam berorganisasinya, ia terpilih menjadi ketua organisasi itu.
Berawal dari seringnya Rahmah dan Ahmad bertemu, baik di masjid maupun di organisasi. Timbul ketertarikan di antara keduanya. Namun, masing-masing tetap menjaga jarak. Tak pernah ada kata cinta di antara mereka. Walaupun mereka menyadari, kalau mereka saling menyukai satu sama lain. Mereka berdua nyaris tak pernah berbicara berdua. Setiap mereka bertemu, ada teman-teman yang lain bersama mereka.
Sampai suatu waktu, seusai tamat sekolah menengah atas, Ahmad memutuskan untuk melanjutkan kuliah di seberang pulau. Tepatnya di kota Gudeg, Yogyakarta. Sebagaimana teman-teman Ahmad yang merasa kehilangan, Rahmah pun merasa kehilangan. Perasaan rindu kepada sosok pemuda itu pun tumbuh di hatinya.
Setelah beberapa bulan Ahmad berada di Yogya, Rahmah mengirimkan surat kepada Ahmad. Hanya sekadar bertanya bagaimana kabar sang pemuda di seberang sana.
Surat balasan datang dari Ahmad yang diantarkan oleh tukang pos. Rahmah merasa deg-degan ketika menerima surat itu. Gerangan apa yang dituliskan pemuda pujaan hatinya itu.
Tak dinyana oleh Rahmah, dalam surat balasannya, Ahmad menyatakan ia mempunyai perasaan suka kepada Rahmah. Namun, ia tak mungkin menampakkan perasaannya di depan teman-temannya. Mengingat ia lulusan pesantren. Jadi, kalaupun ada rasa suka diantara mereka. Tak mungkin, mereka seperti kebanyakan orang yang pacaran.
Mendaras surat Ahmad dari seberang sana, Rahmah merasa bahagia. Ia juga sebenarnya tidak ingin berpacaran. Namun, entah mengapa ia memiliki perasaan sayang pada pemuda itu. Dan rasa itu tak bisa ia bendung. Rahmah berpikir, asal ia tahu kalau pemuda itu juga punya perasaan yang sama dengan dirinya, itu sudah cukup.
Setelahnya, surat-menyurat antara mereka berjalan dengan lancar. Namun uniknya, setiap Ahmad pulang kampung, Rahmah dan Ahmad tak pernah berbicara berdua. Jika mereka kebetulan bertemu, mereka hanya saling pandang dan tersenyum.
Sepertinya, komunikasi Ahmad dan Rahmah lebih lancar melalui surat.  Saat itu belum ada yang namanya, handphone. Apalagi, aplikasi WA atau facebook. Yang ada itu, cuma telepon rumah. Namun, telepon rumah tak pernah sekali pun difungsikan untuk kelancaran komunikasi mereka. Rupanya, Rahmah dan Ahmad, dua-duanya… pemalu.
Pernah ada suatu kejadian di kota Yogyakarta yang membuat hati Rahmah cemas memikirkan pemuda itu. Kala itu bertepatan dengan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1997, Gunung Merapi meletus.
Peristiwa itu terjadi pagi menjelang siang. Sekitar pukul 10.30, gunung berapi yang tergolong aktif itu menyemburkan awan panas bercampur debu dan pasir. Awan panas mengalir pada aliran Kali Krasak sepanjang enam kilometer dan aliran Kali Boyong sepanjang empat-lima kilometer.
Untung saja, Ahmad mengerti kecemasan Rahmah. Ia segera mengirimkan surat kepada Rahmah, bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja.
Surat-menyurat antara mereka berjalan lancar. Sampai ketika Rahmah masuk ke suatu organisasi kemahasiswaan. Ia aktif mengikuti kajian. Kajian yang menyadarkan dirinya bahwa menjalin hubungan dengan lelaki bukan mahrom itu, sesuatu yang tidak dibenarkan. Walaupun, dirinya dan Ahmad menjalin hubungan hanya melalui surat.
Hati Rahmah merasa terganggu akan hal itu, namun ia bimbang. Antara keinginan mengakhiri hubungan mereka atau membiarkan saja. Toh, selama ini mereka hanya berkomunikasi lewat surat. Lagi pula, tak pernah ada kata-kata mesra di antara mereka. Hanya sekadar menginfokan keadaan masing-masing. Tak lebih dari itu.
Setelah cukup lama mempertimbangkannya, Rahmah mengirim surat kepada Ahmad. Tentang niatnya untuk tidak melanjutkan surat menyurat antara mereka. Jika Ahmad ingin terus berhubungan dengannya, ia minta Ahmad untuk datang melamar Rahmah kepada kedua orang tuanya.
Rahmah mengirimkan surat itu kepada Ahmad, dengan perasaan tak menentu. Karena, sebenarnya lah ia terlanjur menyayangi pemuda itu. Tapi, ia tidak mau terus bergelimang dengan perasaan berdosa. Ia takut telah terlibat dengan yang namanya zina hati.  
Selang berapa hari kemudian, balasan surat Ahmad datang. Dalam surat balasannya itu, Ahmad mengatakan kalau ia mengerti tentang perasaan Rahmah. Melalui suratnya itu, Ahmad mengatakan mulai saat itu juga ia memutuskan hubungan dengan Rahmah. Karena tidak mungkin, saat ini ia melamar Rahmah. Karena ia masih sementara belajar di kampung orang. Insya Allah, jika mereka memang berjodoh, mereka akan bertemu di saat yang tepat.
Ketika menerima surat balasan dari Ahmad, hati Rahmah merasa sedih sekaligus plong. Ia merasa sedih karena hubungan dengan pemuda baik itu sudah putus. Tetapi, ia merasa plong. Karena, ia bisa memperbaiki dan menata kehidupannya. Tanpa ada bayang-bayang maksiat menyertainya.
Dalam perjalanan kehidupan selanjutnya, Rahmah kemudian menikah dengan orang lain. Dan, ia bahagia dengan pernikahannya itu. Ahmad pun menikah beberapa tahun setelahnya. Ketika Ahmad menikah, ia berkata kepada salah satu teman dekat Rahmah, “Seandainya sahabatmu itu sabar menungguku, mungkin ia yang kutemani bersanding saat ini.”
Sahabat Rahmah menyampaikan perkataan Ahmad kepada Rahmah. Rahmah hanya tersenyum mendengarnya dan berkata, “Oh, begitu, yah. Tapi, sayang…Kami tak berjodoh, yah. Aku doakan, semoga ia bahagia dengan isterinya.”
Pagi ini, Rahmah kembali mendengar kata-kata itu. Bukan jodoh. Namun, ia tak menyangka, kata-kata itu berasal dari Ibu Asiyah, calon mertuanya dulu. Kini, Ia dan Ahmad sudah sama-sama menikah. Masing-masing sudah memiliki keturunan. Dan mereka sama-sama sudah berbahagia. Walaupun mereka berjodoh dengan orang lain.