Pagi yang cerah menjelang siang. Tampak seorang ibu berumur sekitar 60 tahun tengah berbincang dengan adik-adik perempuan Rahmah di depan rumah. Sebelumnya, Rahmah menyaksikan adik-adiknya menyalami Ibu Asiyah, yang masih terlihat cantik itu. Rahmah yang melihat keakraban yang terjalin itu, tersenyum sumringah.
Ibu Asiyah berusia lanjut. Namun, masih tetap cantik itu, bertanya, “Siapa yang namanya Rahmah
di sini?”
Adik-adik Rahmah saling berpandangan, lalu mereka
serempak tersenyum. Mereka menoleh kepada Rahmah. Rahmah yang masih berada di
dalam rumah menjawab, “Oh iye, saya Aji.”
Ibu Asiyah lantas berbalik ke arah Rahmah, seraya berkata sambil tertawa
kecil, “Hehehe, bukan jodoh di'.”
Rahmah lalu bergabung dengan mereka dan menyalami
ibu Asiyah. Tak lama kemudian, Rahmah
dan Fatimah, adiknya, yang sementara menunggu grabcar pamit. Begitu melihat kendaraan yang mereka sudah pesan via aplikasi sudah menghampiri mereka.
Di atas grabcar, Rahmah teringat perkataan yang
ditujukan padanya oleh Ibu Asiyah tadi. Bukan
jodoh. “Wah, rupanya Ibu Asiyah tahu sedikit banyak tentang hubunganku
dengan puteranya. Padahal selama ini aku pikir beliau tidak tahu, “batin Rahmah. Rahmah
menghela nafas.
Terbayang dalam ingatan Rahmah ketika ia masih
aktif di suatu organisasi remaja. Berawal dari perkumpulan itulah, Rahmah mulai
mengenakan jilbab. Setelah ikut training, Rahmah enggan membuka penutup rambut
alias jilbabnya. Pernah ada sepupu Rahmah yang bilang, “Bagus itu Rahmah kalau
bisa ji bertahan pakai jilbab.” Rahmah cuma ketawa mendengarnya. Ia berikrar
dalam hati kalau ia akan tetap pakai jilbab sampai kapanpun.
Ketika itu, kegiatan di organisasi remaja dimana Rahmah
berkecimpung di dalamnya, begitu semarak. Cukup banyak kegiatan yang mereka
lakukan. Seperti, peringatan hari besar agama Islam, pengajian tiap bulan,
bazar, dan juga latihan kader untuk perekrutan anggota.
Selain menjadi anggota organisasi tersebut, mereka pun
menjadi anggota remaja masjid setempat. Kegiatan yang paling berkesan bagi remaja masjid adalah kegiatan pada bulan Ramadhan. Mereka menyiapkan hidangan buka puasa yang berasal dari warga.
Habis mendengar ceramah mereka sholawat tarwih. Para remaja waktu itu biasanya melakukan sholat tarwih dua puluh rakaat bersama pengurus masjid. Pada saat itu jamaah sudah banyak berkurang. Jamaah umumnya mengambil delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat. Kegiatan yang lain, yang tak kalah berkesannya, yaitu kalau ada yang meninggal dunia, mereka selalu dipanggil pergi mengaji selama tiga malam berturut-turut. Ketika itulah, Rahmah mengenal seorang pemuda yang cukup menarik perhatiannya.
Habis mendengar ceramah mereka sholawat tarwih. Para remaja waktu itu biasanya melakukan sholat tarwih dua puluh rakaat bersama pengurus masjid. Pada saat itu jamaah sudah banyak berkurang. Jamaah umumnya mengambil delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat. Kegiatan yang lain, yang tak kalah berkesannya, yaitu kalau ada yang meninggal dunia, mereka selalu dipanggil pergi mengaji selama tiga malam berturut-turut. Ketika itulah, Rahmah mengenal seorang pemuda yang cukup menarik perhatiannya.
Pemuda itu seorang lulusan dari pesantren yang
cukup ternama di Sulawesi Selatan. Pemuda itu bernama Ahmad. Dulu, kalau Ahmad
lagi libur, setiap pulang dari pesantren, ia mengajar Rahmah dan teman-temannya
bahasa Arab di masjid. Biasanya ia mengajar setiap ba’da Magrib sampai Isya
menjelang.
Terkadang, ada teman perempuan Rahmah yang bilang,
“Wah, bukan pelajarannya yang jadi fokus perhatian, gurunya ji yang jadi bahan perhatian.” Maklum
Ahmad mempunyai perawakan yang cukup atletis dan memiliki rupa yang lumayan
menarik perhatian lawan jenisnya.
Setelah lulus dari pesantren, Ahmad melanjutkan
sekolahnya di Kota Makassar. Ia kemudian mengikuti training di organisasi
pemuda yang sama dengan Rahmah. Selanjutnya, dalam perjalanan dalam
berorganisasinya, ia terpilih menjadi ketua organisasi itu.
Berawal dari seringnya Rahmah dan Ahmad bertemu,
baik di masjid maupun di organisasi. Timbul ketertarikan di antara keduanya.
Namun, masing-masing tetap menjaga jarak. Tak pernah ada kata cinta di antara
mereka. Walaupun mereka menyadari, kalau mereka saling menyukai satu sama lain.
Mereka berdua nyaris tak pernah berbicara berdua. Setiap mereka bertemu, ada
teman-teman yang lain bersama mereka.
Sampai suatu waktu, seusai tamat sekolah menengah
atas, Ahmad memutuskan untuk melanjutkan kuliah di seberang pulau. Tepatnya di
kota Gudeg, Yogyakarta. Sebagaimana teman-teman Ahmad yang merasa kehilangan, Rahmah
pun merasa kehilangan. Perasaan rindu kepada sosok pemuda itu pun tumbuh di
hatinya.
Setelah beberapa bulan Ahmad berada di Yogya, Rahmah
mengirimkan surat kepada Ahmad. Hanya sekadar bertanya bagaimana kabar sang
pemuda di seberang sana.
Surat balasan datang dari Ahmad yang diantarkan
oleh tukang pos. Rahmah merasa deg-degan ketika menerima surat itu. Gerangan
apa yang dituliskan pemuda pujaan hatinya itu.
Tak dinyana oleh Rahmah, dalam surat balasannya,
Ahmad menyatakan ia mempunyai perasaan suka kepada Rahmah. Namun, ia tak
mungkin menampakkan perasaannya di depan teman-temannya. Mengingat ia lulusan
pesantren. Jadi, kalaupun ada rasa suka diantara mereka. Tak mungkin, mereka
seperti kebanyakan orang yang pacaran.
Mendaras surat Ahmad dari seberang sana, Rahmah
merasa bahagia. Ia juga sebenarnya tidak ingin berpacaran. Namun, entah mengapa
ia memiliki perasaan sayang pada pemuda itu. Dan rasa itu tak bisa ia bendung. Rahmah
berpikir, asal ia tahu kalau pemuda itu juga punya perasaan yang sama dengan
dirinya, itu sudah cukup.
Setelahnya, surat-menyurat antara mereka berjalan dengan
lancar. Namun uniknya, setiap Ahmad pulang kampung, Rahmah dan Ahmad tak pernah
berbicara berdua. Jika mereka kebetulan bertemu, mereka hanya saling pandang
dan tersenyum.
Sepertinya, komunikasi Ahmad dan Rahmah lebih
lancar melalui surat. Saat itu belum ada
yang namanya, handphone. Apalagi, aplikasi WA atau facebook. Yang ada itu, cuma
telepon rumah. Namun, telepon rumah tak pernah sekali pun difungsikan untuk
kelancaran komunikasi mereka. Rupanya, Rahmah dan Ahmad, dua-duanya… pemalu.
Pernah ada suatu kejadian di kota Yogyakarta yang
membuat hati Rahmah cemas memikirkan pemuda itu. Kala itu bertepatan dengan
Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1997, Gunung Merapi meletus.
Peristiwa
itu terjadi pagi menjelang siang. Sekitar pukul 10.30, gunung berapi yang
tergolong aktif itu menyemburkan awan panas bercampur debu dan pasir. Awan
panas mengalir pada aliran Kali Krasak sepanjang enam kilometer dan aliran Kali
Boyong sepanjang empat-lima kilometer.
Untung saja, Ahmad mengerti kecemasan Rahmah. Ia segera
mengirimkan surat kepada Rahmah, bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja.
Surat-menyurat antara mereka berjalan lancar.
Sampai ketika Rahmah masuk ke suatu organisasi kemahasiswaan. Ia aktif
mengikuti kajian. Kajian yang menyadarkan dirinya bahwa menjalin hubungan
dengan lelaki bukan mahrom itu, sesuatu yang tidak dibenarkan. Walaupun,
dirinya dan Ahmad menjalin hubungan hanya melalui surat.
Hati Rahmah merasa terganggu akan hal itu, namun ia
bimbang. Antara keinginan mengakhiri hubungan mereka atau membiarkan saja. Toh,
selama ini mereka hanya berkomunikasi lewat surat. Lagi pula, tak pernah ada
kata-kata mesra di antara mereka. Hanya sekadar menginfokan keadaan
masing-masing. Tak lebih dari itu.
Setelah cukup lama mempertimbangkannya, Rahmah
mengirim surat kepada Ahmad. Tentang niatnya untuk tidak melanjutkan surat
menyurat antara mereka. Jika Ahmad ingin terus berhubungan dengannya, ia minta
Ahmad untuk datang melamar Rahmah kepada kedua orang tuanya.
Rahmah mengirimkan surat itu kepada Ahmad, dengan
perasaan tak menentu. Karena, sebenarnya lah ia terlanjur menyayangi pemuda
itu. Tapi, ia tidak mau terus bergelimang dengan perasaan berdosa. Ia takut telah
terlibat dengan yang namanya zina hati.
Selang berapa hari kemudian, balasan surat Ahmad
datang. Dalam surat balasannya itu, Ahmad mengatakan kalau ia mengerti tentang
perasaan Rahmah. Melalui suratnya itu, Ahmad mengatakan mulai saat itu juga ia
memutuskan hubungan dengan Rahmah. Karena tidak mungkin, saat ini ia melamar Rahmah.
Karena ia masih sementara belajar di kampung orang. Insya Allah, jika mereka
memang berjodoh, mereka akan bertemu di saat yang tepat.
Ketika menerima surat balasan dari Ahmad, hati Rahmah
merasa sedih sekaligus plong. Ia merasa sedih karena hubungan dengan pemuda
baik itu sudah putus. Tetapi, ia merasa plong. Karena, ia bisa memperbaiki dan
menata kehidupannya. Tanpa ada bayang-bayang maksiat menyertainya.
Dalam perjalanan kehidupan selanjutnya, Rahmah
kemudian menikah dengan orang lain. Dan, ia bahagia dengan pernikahannya itu.
Ahmad pun menikah beberapa tahun setelahnya. Ketika Ahmad menikah, ia berkata kepada
salah satu teman dekat Rahmah, “Seandainya sahabatmu itu sabar menungguku,
mungkin ia yang kutemani bersanding saat ini.”
Sahabat Rahmah menyampaikan perkataan Ahmad kepada Rahmah.
Rahmah hanya tersenyum mendengarnya dan berkata, “Oh, begitu, yah. Tapi, sayang…Kami
tak berjodoh, yah. Aku doakan, semoga ia bahagia dengan isterinya.”
Pagi ini, Rahmah kembali mendengar kata-kata itu. Bukan jodoh. Namun, ia tak menyangka, kata-kata
itu berasal dari Ibu Asiyah, calon mertuanya dulu. Kini, Ia dan Ahmad sudah
sama-sama menikah. Masing-masing sudah memiliki keturunan. Dan mereka sama-sama sudah berbahagia. Walaupun mereka berjodoh dengan orang lain.