Entah harus marah pada siapa, asu-dahlah. Gampang saja mengangkat jari telunjuk siapa yang bisa disalahkan, dan pihak lain akan dengan enaknya merasa benar dan punya hak lebih, begitu pula sebaliknya. Sudah jadi lingkaran para setan, ehh pammoporanga, lingkaran setan.
Inakke, bukan ji keturunan karaeng lompo tapi bukan juga ji keturunan ata. Begitu kata tettaku almarhum. Tapi bukan itu poinnya.
Yang terpenting, dan tidak terbantahkan adalah saya lahir dan besar di Gowa. Tetta dan ammaku juga lahir dan besar di Gowa. Jadi darahku selain bergolongan darah B secara medis, juga bergenetika Makassar. Titik.
F
Jadi pantaslah ada rasa yg seakan ingin selalu meledak, meski saya sering mengabaikannya bahkan menahannya, ketika melihat hal-hal yg berkaitan dengan Makassar. Itulah primordialisme, assahbiyah. Wajar-wajar saja, kalau proporsional.
Lebih-lebih ketika melihat kejadian mutakhir. Ada bupati yg sekaligus ingin menjadi ràja; raja baru yg dilarang masuk istana dan terpaksa dilantik di hotel. Itulah headline berhari-hari yg kian menggerus nilai-nilai keMakassaran. Asu-dahlah pasti muatannya negatif. Dan yakin saja, secara statistik, dampaknya adalah makin banyak orang Makassar yg malu bahkan enggan mengakui kemakassarannya.
Asu-dalah
Rasa inilah yang mungkin disebut pacce. Masih ada sedikit pacce. Ahh, kenapa rasa ini tidak hilang saja. Biar hidup bisa enjoy-enjoy saja.
Bukankah Gowa yg dulu digjaya itu memang sudah takluk. Dan semuanya hanya tersisa sejarah manis di masa lalu dan skarang sisa pahitnya belaka, seperti kopi yang tidak ori lagi karna sudah dipadu jagung. Bahkan sudah kw1 hingga kw2.
Apakah memang para karaeng lebih asik-mansuk dengan hedonisme politik tanpa peduli pada masalah nilai ke-Makassaran yang lebih mendasar. Persoalan yg perlu dibangun menurutku adalah bagaimana orang Makassar banģga dengan kemakassarannya, dan saking hebatnya, orang luar Makassar pun latah mengaku-aku orang Makassar. Itulah yg perlu dibangun dan diperjuangkan. Bukan sebaliknya.
Asu-dalah. Lebih enak menyantap coto makassar. Kuliner yg tidak ada duanya, menurut saya. Assabiyah lagi. Bahkan mengalahkan rendang padang hingga spagetti itali . Tak mengapa dianggap subjektif, karna memang saya orang Makassar, dan lagi pula lidah saya jujur mengakuinya.
Biar mi tensi darah agak tinggi pun dokter melarangnya, tak mengapa mencicipi Coto Makassar. Kan, adaji jeruk nipisnya sebagai penyeimbang. Makanya, kalo sudah berhadapan semangkok coto, jangan buru-buru ditaburi garam atau dialiri kecap. Tapi yang mula-mula adalah menghujaninya dengan perasan jeruk nipis.
Bumbu Coto Makassar juga menyehatkan. Empat puluh jenis rempah beradu-tak-mau-kalah ingin menyehati penikmatnya. Biar mami belum ada penelitian ilmiah. Tapi setidaknya itu yg saya rasakan. Pun banyak orang jujur mengakuinya. Cukup manggut-manggut kalo setujuki ato senyum-senyum simpul juga bisa.
Biar tanggal tua, beli saja Coto Makassar, paling tidak setengah daging ato kuahnya saja. Baru jangan ki lupa minta tambah lagi kuahnya. Gratis ji toh. Ketupatnya mo saja banyak-banyak dibeli. Dijamin membuat kita bertenaga. Apalagi kalo demam biasa ji daeng, amba mi saja Coto Makassar dua mangkok, baru pigi tidur dengan tiga lapis selimut. Insya Allah sehatki. Tapi tolong digaris bawahi kata insya Allah nya, bukan cotonya. Itulah istimewanya Coto Makassar.
Asu-dalah. Daripada pusing kepala berbi memikirkan kisruh raja gowa. lebih baik kuangkat rajaku sendiri, akan kulantik sendiri dalam batinku. Akan kuserukan aru kesetiaanku. Engkaukah rajaku Coto Makassar, karaengku Coto Makassar. Catat, bukan Soto Makassar apalagi Coto Ujungpandang. Tapi sekali lagi Coto Makassar.
Kenapa engkau kuangkat menjadi rajaku, Coto Makassar. Karena engkau ada di mana-mana di nusantara ini. Pengaruhmu begitu besar. sebagaimana dahulu kerajaan Gowa pengaruhnya ada di mana-mana. Engkaulah representasi sekaligus pelanjut tak terbantahkan dari kedigdayaan Gowa-Tallo (Makasar) zaman dulu.
Bahkan engkau lebih stabil dan tidak uring-uringan terpikat kepentingan politik seperti mereka.
Terimakasih Coto Makassar telah mengabadikan Makassar. Nama Makassar
Alfatihah selalu kepada para penemu, peramu, chef, dan penyebar Coto Makassar.
Keberuntungan dan keberkahan senantiasa kepada para penjual Coto Makassar
Pun kelimpahan dan kesehatan selalu menghampiri para penikmat Coto Makassar
Asu-dalah. Akan kucoba menelusuri seluruh aroma coto di setiap warung, bahkan ke warung Coto Maros sekali pun. Apa pun minumannya makanan favoritnya pasti Coto Makassar
Oleh :
Rajab Sabbarang