Senin, 17 Juli 2017

KEMATIAN BAPAK

Lelaki yang telah melewati umur paruh baya itu terbaring lemah di ranjang kayunya. Lelaki yang kupanggil bapak itu sedang sakit. Bapak kelihatan meringis menahan rasa sakit yang dideritanya. Entah, sakit apa yang kini dideritanya. Setiap kali kusarankan untuk memeriksakan dirinya ke dokter, beliau tak pernah mengikutinya. Bapak bilang dirinya tidak apa-apa, beliau baik-baik saja. Beliau memang orangnya sabar, tak pernah terdengar keluhan dari bibirnya.

Keesokan harinya, bapak membangunkan aku untuk sholat shubuh. Beliau nampak keliatan lebih segar. Rupanya bapak sudah sembuh. Syukur Alhamdulillah. Bapak duduk-duduk di ruang tamu ditemani kopi hitam lengkap dengan unti sanggara. Aku kemudian duduk di samping beliau. Sudah tersedia pula untukku segelas kopi hitam. Wah, enak sekali ini. Udara pagi Malino yang dingin masih kurasakan sampai tulang sumsumku. Sarungku kukalimbu ke tubuhku yang menggigil kedinginan. Aku lupa memakai jaket yang tebal. Kebiasaan di Makassar yang udaranya panas menyengat di siang hari. Bahkan aku biasa buka baju saking panasnya udara yang kurasakan. Dasar orang Malino yang terbiasa dengan udara sejuk.

Bapak yang memulai pembicaraan. Beliau mengajakku untuk melayat ke rumah Daeng Tompo, tetangga kami. Rupanya Daeng Tompo meninggal dunia tadi malam. Akupun mengiyakan ajakan bapak. Sekitar pukul 09.00 kami melayat ke rumah duka. Yang rencananya akan dimakamkan siang ini. Di rumah duka, sudah ramai orang yang melayat. Banyak pula yang bertanya sebab kematian almarhum. Ada juga yang heran. Katanya, kemarin sore mereka masih melihat almarhum duduk-duduk di teras rumahnya. Sedang bersantai sambil minum kopi ditemani istrinya. Dan dia sempat dipanggil singgah oleh almarhum. Begitulah ajal, bisa datang kapan saja dan dimanapun kita berada. Tidak mengenal tua atau muda, sehat atau sakit, di laut atau di darat. Kalau ajal sudah menjemput, kita tidak bisa menolak atau menghindarinya.

Aku dan bapak mengantar jenazah ke tempat peristirahat terakhirnya. Banyak juga yang mengantar almarhum. Maklumlah, rasa kekeluargaan di kampung masih terpelihara. Tercermin ketika ada anggota masyarakat yang kematian, mengadakan pernikahan. Selalu ramai. Apalagi masih ada hubungan kekerabatan antara keluarga yang satu dengan yang lain di kampung.



Sepulang melayat, aku pamit kepada bapak. Aku hendak balik ke Makassar. Pasalnya, ada setumpuk pekerjaanku yang mesti kuselesaikan, yang menantiku di sana. Bapak mengijinkan aku.  Seraya memelukku, matanya berkaca-kaca. Sepertinya kerinduan masih bergelayut terhadap anak semata wayangnya itu. Sore itu, aku balik ke Makassar. Dengan berkendara Yamaha, aku tinggalkan rumah bapak. Terasa berat, meninggalkan rumah kenangan itu. Tapi kehidupanku ada di Makassar. Tempat mencari sesuap nasi untuk keluarga kecil kami. Tak ada yang bisa kulakukan di sini. Keahlianku tak bisa kuterapkan di kampung.

Aku mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Aku tidak bisa memacunya lebih cepat. Karena cahaya mulai remang-remang. Pertanda malam mulai tiba. Sedangkan jalan kulalui berkelok-kelok. Jurang di sebelah kiri jalan. Lengah sedikit, bisa-bisa terjun ke jurang. Belum lagi kendaraan yang berlawanan arah bisa-bisa muncul secara tiba-tiba. Konsentrasi buyar, alamat kendaraan berciuman yang bisa mengakibatkan kecelakaan fatal. Syukurlah, aku tidak dalam keadaan mengantuk sehingga aku berkendara dengan normal. Perlahan-lahan aku meninggalkan Malino menuju kota Makassar.

Aku disambut anak pertamaku yang masih berusia dua tahun dengan gembira. Sayang, aku tidak membawakan oleh-oleh untuknya dari kampung. Ada markisa di sana, dodoro dan juga tenteng. Keterbatasan waktu penyebabnya. Cuma dua hari. Istriku yang lagi hamil tujuh bulan. Tidak langsung menyambut kedatanganku. Karena lagi sibuk di dapur. Sejurus kemudian, Ani istriku, membawakan segelas kopi untukku. Ani menanyakan keadaan bapak.

“Daeng, bagaimana keadaan Bapak di kampung,” Tanya istriku. Aku menjawab, "Alhamdulillah, Bapak baik-baik saja, Ndik.” Istriku dengan gembira membalas, "Syukurlah kalau begitu, Daeng. Kasihan Bapak, hidup sendiri. Tak ada yang menemani. Bagaimana kalau Bapak tinggal bersama kita di sini, Daeng?” Aku menjawab, "Aku sudah bilang begitu kapada bapak. Tapi bapak tidak mau, Ndik. Bapak sangat mencintai rumah dan kampungnya. Katanya, banyak kenangan indah bersama ibuku di rumah itu. Beliau tidak bisa meninggalkan rumah bersejarah dan penuh kenangan itu.” Istriku berkata, "Oh, begitukah. Jadi siapami kodong yang rawatki Bapak, yang layani Bapak.”

“Alhamdulillah,” Kataku. “Bapak orangnya mandiri. Beliau bisa masak sendiri dan mencuci pakaian sendiri. Dari dulu beliau tidak pernah merepotkan orang lain. Bahkan sewaktu mendiang ibu masih ada, bapak terkadang mencuci bajunya sendiri. Jika ibu lagi tidak enak badan.” “Oh, baik betul Bapak, Daeng,” Ujar istriku sambil tersenyum.

“Iyya, begitulah, Ndik. Mestinya aku sering-sering menjenguknya. Karena aku satu-satunya anaknya. Tapi itu tidak mungkin, Ndik. Aku tidak bisa meninggalkan terus pekerjaanku. Mungkin karena saking rindunya sama aku sehingga bapak sering sakit."

Kenapa aku berkata begitu pada istriku. Bapak sakit karena rindu padaku. Karena, entah sudah berapa kali bapak sakit. Kalau aku datang menjenguknya. Tidak lama kemudian, ia sudah sembuh. Tapi, anehnya juga, setiap kali pulang kampung untuk menjenguk bapak yang lagi sakit. Pasti keesokan harinya aku akan pergi melayat dan mengantar tetangga yang meninggal dunia, bersama bapak.

Sore itu, ketika aku lagi bekerja, istriku menelepon dari rumah. Istriku berkata, ”Daeng, aku sudah merasa sakit yang datangnya secara berkala. Semakin lama semakin sering. Sepertinya aku sudah mau melahirkan. Oh ya, tadi ada telepon dari kampung, katanya bapak sedang sakit parah sepertinya sudah sakaratul maut.”

Aku terhenyak. Kok, tiba-tiba bapak sakit parah. Aku bingung. Waduh, bagaimana ini? Bapak sakit parah sedangkan istriku mau melahirkan. Apalagi pekerjaanku tidak bisa ditinggalkan. Profesiku sebagai seorang penerjemah dan sementara ini ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan.

“Ndik, kalau aku terlambat pulang, pergi saja dulu ke rumah sakit. Jangan tunggu aku, karena ada pekerjaan yang mesti kuselesaikan terlebih dahulu. Tinggal sedikit. Nanti aku menyusulmu ke rumah sakit.”

“Iye, Daeng. Tapi ditungguKi bapak di kampung,” Ujar istriku. “Iye, kuselesaikan dulu pekerjaanku nah, sayang. Baru aku ke rumah sakit. Habis itu ke kampung,” Balasku meyakinkan istriku. Kututup telepon dengan perasaan tidak menentu. Tapi aku mencoba untuk tetap tenang menyelesaikan pekerjaanku.

Pekerjaankupun selesai. Kususul istri ke rumah sakit. Kulihat betapa istriku menahan rasa sakit. Aku was-was melihatnya. Perasaan iba terbersit di hatiku. Betapa berat pengorbanan seorang perempuan dalam mengandung dan melahirkan seorang anak manusia ke dunia ini. Dokter mengatakan bahwa kemungkinan besar istriku melahirkan besok. Bukan ini malam. Sebab baru pembukaan tiga. Tapi aku melihat istriku sudah tidak tahan lagi akan rasa sakit yang dirasakannya. Dia bolak-balik bolak-balik di atas ranjang rumah bersalin. Tak henti-hentinya syahadat terdengar dari mulutnya, bergantian dengan ucapan takbir, istighfar dan doa’-doa lainnya. Aku merasa iba melihatnya. Aku tak tahan melihatnya. Rasa haru menggelegak di dalam dada. Tidak terasa air mata meleleh di pipiku.

Tiba-tiba istriku bilang ada air yang mengucur deras dari jalan lahir sang calon bayi. Dokter segera memeriksa istriku dengan cekatan. "Wah, ini sudah pembukaan sembilan, katanya. "Sudah lengkap pembukaannya. Saya kira besok baru melahirkan ibunya." Dia segera memerintahkan bidan yang bertugas untuk segera membantu istriku melahirkan. Agak lama juga si jabang bayi nongol. Katanya, istriku gatta kelorang. Wanita hamil yang gatta kelorang itu, sebelum lahir bayinya, biasanya disertai lendir yang banyak. Nanti habis lendirnya, barulah bayi bisa keluar. Dan biasanya wanita hamil yang gatta kelorang akan merasakan sakit yang luar biasa. Katanya sih, penyebabnya adalah sewaktu hamil sering makan buah yang bergetah. Misalnya, buah langsat. Iyya juga sih, sewaktu istriku hamil pas musim langsat, jadi setiap hari makan langsat. Tidak bosan-bosannya istriku makan langsat. Entahlah, saya juga tidak tau hubungannya di mana.

Proses melahirkannya agak lama. Membuatku sangat cemas. Kecemasan juga melanda ibu dan tante istriku. Sehingga mereka memutuskan untuk pergi mencari obat dari neneknya istri yang pintar. Berupa air yang dibacakan do’a-do’a untuk memudahkan melahirkan. Sedangkan istriku masih berjuang hidup mati untuk melahirkan sang buah hati. Aku pun pergi mencari obat itu. Setelah mendapatkannya, aku segera ke rumah bersalin kembali. Sesampai di rumah sakit, Wah, ternyata istriku sudah melahirkan. Aku sangat bahagia dan bersyukur kepada-Nya tak terhingga. Kuambil bayi yang sudah dibersihkan dan diselimuti. Kucium dan kudekap dengan penuh kasih sayang. Dan membacakan iqamah di telinga kanannya.

Tiba-tiba ada telepon dari kampung yang menyatakan bahwa bapakku telah meninggal dunia. Diiiringi derai air mata, kuucapkan innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Aku sedih karena aku tidak bisa menemani detik-detik terakhir bapakku. Aku bilang, aku akan pulang segera. Aku pamit kepada istriku. Untuk pulang ke kampung. Malam itu juga aku pulang kampung menjumpai bapakku yang sudah tiada.

Keesokan harinya, sekitar pukul 09.00 pagi, jenazah bapakku dikebumikan. Ketika, para pengantar sudah pulang, aku tinggal sendirian di depan kuburan bapakku. Aku belai nisannya. Sambil berdoa memintakan ampun dan keselamatan bagi bapakku di alam sana.

Malam takziah digelar selama tiga malam berturut-turut. Setelahnya, aku pamit pada keluarga bapak untuk pulang kembali ke Makassar. Aku pulang ke Makassar. dengan perasaan yang masih diliputi duka akibat kepergian bapak. Tapi ada yang menungguku di sana, sesosok makhluk mungil yang baru lahir. Harapan baru yang mengingatnya saja. Menimbulkan kebahagiaan yang tak terlukiskan.

Aku mengetuk pintu. Terdengar tangisan bayi dari dalam. Tangisan bayi yang melengking. Menandakan bayi yang sehat. Alhamdulillah. Pintu dibuka istriku, dan langsung masuk ke dalam mengambil dan menggendong si bayi. Aku dilarangnya untuk menggendong sang bayi. Katanya, tidak boleh karena aku baru datang dari jauh. Sebentar-sebentarpi, katanya. Setelah, beberapa lama aku istirahat. Si mungil akhirnya dapat kutimang-timang. Aduh senangnya, memandang wajahnya yang lucu. Kuelus-elus pipinya yang halus, tapi matanya masih tertutup. Wah, masih tidur ternyata dia. Nantilah kalau dia terbangun dari tidurnya, baru main lagi sama bapak yah, Nak.

Istriku menghampiriku dan bertanya,”Bagaimana di kampung, Daeng. Ah, mauku juga ke kampung, Daeng. Lihatki Bapak untuk terakhir kalinya. Tapi tidak bisa kodong.” Aku jawab,”Iye, Ndik. Tidak dilihatmi Bapak . Karena bersamaan mauki melahirkan. Tidak apa-apaji. Sekarang Bapak sudah tenang di sisinya.”

“Daeng, pernahKi itu cerita dulu. Bilang ada itu ilmunya Bapak. Kalau sakitki bisa sembuh kembali. Dengan syarat, ada orang lain yang meninggal sebagai gantinya. Kuingatki itu waktuku melahirkan. Bateko mami berdo’a. Kuingatki itu ceritaTa.”

"Iyyoka,” Sahutku tertegun. Pernah memang aku bercerita tentang ilmunya bapak. Tapi sebenarnya aku juga kurang percaya akan cerita itu. Aku kira cerita itu hanya  sekedar cerita saja.

“Tapi, entahlah. Sewaktu aku dalam proses melahirkan itu. Aku teringat terus kepada Bapak yang dalam keadaan sakaratul maut. Aku terus berdoa memohon kelancaran dan keselamatan kepada yang Maha Kuasa. Alhamdulillah, bayi kita lahir dan dia sehat-sehat saja. Demikian pula dengan diriku. Tetapi, Bapak meninggal. Aku merasa bahwa Bapak mengorbankan dirinya demi keselamatan cucu dan menantunya. Bapak tidak menggunakan ilmunya dan nyawanya sebagai taruhannya,”Gumamku sedih.

Antara percaya dan tidak. Aku mendengar cerita isteriku dengan perasaan sedih. Yah, Bapak telah tiada. Namun, apapun cerita tentang Bapak.  Aku menganggap bahwa beliau adalah orangtuaku yang terbaik. Sampai kapanpun. Pandanganku menerawang ke masa silam. Masa-masa kecilku bersama bapak dan ibu di kampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar