Napoleon Bonaparte Seorang Muslim yang Berasal dari Makassar-Indonesia
Sudah sejak lama muncul dalam
perbincangan sambil lalu atau sekedar candaan jikalau Napoleon Bonaparte itu
aslinya adalah orang Indonesia, tepatnya dari Makassar. Buktinya, lagi-lagi, hanya sekedar melihat namanya
belaka. Kaisar hebat ini bernama
Napo Daeng Liong bin Bora Daeng Irate, Napoleon Bonaparte. Mirip sekali memang.
Tidak lebih dari itu. Selesai.
Cocoklogi tersebut akhirnya membuka ruang diskusi baru sekaligus
semakin meluas ketika buku yang berjudul “Napoleon Bonaparte ternyata seorang Muslim, Diduga Ia berasal dari Makassar” terbit tahun 2012 lalu, yang baru juga kami dapatkan di penghujung tahun 2017.
Di bagian awal buku setebal
139 halaman ini, bab 1, 2 dan 3, secara umum mengulas tentang kondisi dunia abad ke-17
hingga abad 18, era dimana Napoleon dilahirkan, sepak terjangnya
dalam militer Perancis, pengangkatannya sebagai
kaisar hingga kejatuhannya, termasuk kehidupan asmaranya dengan beberapa wanita.
Ulasan semacam ini lazim ditemukan dibanyak buku sejarah, yang boleh jadi,
mayoritas pembaca cenderung mengabaikan bagian-bagian ini. Tentu saja karena
kita jauh lebih penasaran ingin membaca
bagaimana bisa panglima besar ini, yang berada di urutan ke- 34 tokoh
paling berpengaruh di sepanjang sejarah,
bisa menjadi seorang muslim dan asal usulnya dari Makassar, Indonesia.
Akhirnya tibalah di
intisari buku ini, bab 4, 5 dan 6. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar
mengapa Napoleon diduga berasal dari Makassar. Pertama, konon Sultan
Hasanuddin memiliki keturunan bernama I Yandulu Daeng Mangalle, yang pergi ke Siam (Thailand) bersama pengikutnya, setelah kekalahan kerajaan Makassar pasca
perjanjian Bongaya, dan mendapat suaka di sana. Kemudian Daeng Mangalle bersama
adik raja Siam terlibat dalam rencana pemberontakan untuk menjatuhkan tahta
Raja Narai. Sayang rencana tersebut terlanjur bocor. Meski ada peluang
pengampunan dari raja, tapi Daeng Mangalle dan pengikutnya tidak menyerah
hingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang dimenangkan oleh pihak
kerajaan. Meskipun sedikit, pasukan Makassar ini dikatakan hampir menguasai
kerajaan karena semangat tempurnya yang tak kenal mundur. Inilah yang membuat
kagum tentara Perancis yang mengetahui peristiwa ini. Lantas dua putra I
Yandullu Daeng Mangalle diampuni oleh
raja Siam kemudian keduanya dibawa menetap di Perancis bahkan keduanya dimasukkan ke akademi
tentara di Perancis. Mereka berdua kemudian
berganti nama, Daeng Ruru berganti nama menjadi Louis Pierre de Macassart, yang
kedua Daeng Tulolo menjadi Louis Dauphin.
Mereka inilah yang dianggap
melahirkan sang tokoh besar Napoleon Bonaparte.
Kedua, dari segi fisik, Napoleon memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil. Ia lebih mirip orang Makassar
pada umumnya, dibandingkan orang-orang Eropa lainnya yang bertubuh
tinggi. Ketiga, lambang ‘sakral’
Perancis berupa ayam jantan, konon katanya diinspirasi kepahlawanan Sultan Hasanuddin yang
bergelar ayam jantan dari Timur. Barangkali
yang paling mudah dilihat adalah logo
ayam yang tersemat di bagian dada baju kesebelasan
Perancis.
Lantas bagaimana Napoleon
menjadi muslim ini diungkap dalam harian resmi Prancis, Le Moniteour Universal
(terbit dalam kurun waktu 1789-1868). Disebutkan bahwa Napoleon resmi menjadi Muslim pada 1798. Kutipan berita inilah yang kemudian dimuat dalam buku Satanic
Voices – Ancient and Modern karya David Musa Pidcock tepatnya pada halam 61.
Buku Pidcock ini terbit
pada 1992, demikian tulisan yang dikutip media.isnets.org. pidcock juga
menuliskan bahwa Napoleon memilih nama Ali sebagai nama barunya, sehingga
menjadi Ali Napoleon Bonaparte.
Napoleon disebut-sebut
mengakui superiotas hukum Islam, bahkan berniat menerapkannya dalam kekaisarannya di Perancis. Prinsip-prinsip syariah itu sempat dimasukkan ke dalam Civil
Code Napoleon atau hukum yang
ditulis oleh Napoleon. Kode Napoleon ini
kemudian menginsipirasi konstitusi
Perancis dan konstitusi negara-negara
taklukan Napoleon di Eropa.
Kritik
Sudah barang tentu buku
ini patut diapresiasi. Serpihan-serpihan
ide dan tulisan yang berserakan
bisa berwujud buku yang manis seperti ini merupakan hasil kerja keras,
ketekunan dan semangat dari penulis, apalagi temanya sangat unik dan langka.
Sayang sekali buku ini
tidak memberi porsi penjelasan yang luas dan mendalam pada tema pokok buku ini, yaitu bagaimana
menelusuri riwayat Napoleon
benar-benar berasal dari Makassar. Buku setebal 138 halaman ini, hanya memberi
ruang tidak lebih dari 5 halaman penjelasan tentang bagaimana Napoleon berasal
dari Makassar. Ada keterputusan atau gap riwayat
yang tidak disebut dalam buku ini, dari Daeng Ruru (Louis Pierre de
Macassart) atau Daeng Tulolo (Louis Dophin) ke Napoleon Bonaparte. Para
sejarawan Perancis dan dunia pun, sejauh ini, tidak ada yang membahas secara
khusus tentang asal usul Napoleon yang berbeda dengan sejarah yang umum
ditulis.
Sangat berbeda, misalnya,
dengan Tun Abd Razak, perdana menteri pertama Malaysia, yang memiliki silsilah
yang lengkap hingga ke Karaeng Sanrobone, Putra Karaeng Bontomangape Sultan
Hasanuddin. Atau dr. Wahidin Sudirohusodo yang memiliki riwayat hingga ke Karaeng Naba, yang ikut terlibat
membantu Trunajoyo dalam memerangi kompeni Belanda.
Terkait riwayat Napoleon tersebut,
tepatlah jika penulis buku ini memberi judul “......diduga dari Makassar”,
karena memang hampir semuanya bersifat perkiraan belaka. Menganggap Napoleon
berasal dari Makassar, jauh lebih misteri
dibandingkan pendapat yang mengatakan bahwa Hang Tuah, bernama Makassar—Daeng
Merupawah, itu berasal dari kerajaan
Bajeng, Gowa, yang dikisahkan dalam Babad Tanah
Melayu.
Mengenai keislaman
Napoleon, memang, banyak sudah diungkap oleh media-media yang kredibel bahkan
dari Perancis sendiri. Tapi yang luput diketengahkan oleh penulis, sebagai
temuan di sisi lain, bahwa Napoleon justru dikatakan hanya ingin menarik
simpati dari kalangan umat Islam di tengah kedudukannya yang mulai tertekan,
terutama di Mesir dan India dalam menghadapi seteru besarnya yaitu Inggris.
Sangat disayangkan pula,
buku ini hanya mendasarkan referensinya pada situs online saja. Di bagian
daftar pustaka, tidak ada satu pun buku referensi yang dicantumkan. Pun, banyak
referensi yang dikutip menggunakan hasil terjemahan yang masih kacau, hingga
sulit dipahami bahkan keluar dari makna yang awal yang dimaksudkan, boleh jadi karena sebagian masih menggunakan mesin
terjemahan.
Oleh :
Rajab Sabbarang Daeng Nuntung
(Penggiat Rumah Baca Smart & Cool)