Kamis, 21 April 2016

Antara R.A Kartini dan Cut Nyak Dien



Hari ini, 21 April, setiap orang mengenang jasa Raden Ajeng Kartini. Beliau dianggap sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Yang memperjuangkan persamaan hak perempuan dengan laki-laki. Surat-surat beliau kepada sahabatnya, Rosa Abendanon, istri J.H Abendanon di Belanda. Menyatakan kegalauannya terhadap nasib kaum perempuan di zamannya. Salah satunya, karena tidak mendapat pendidikan seperti layaknya kaum lelaki.

Tetapi, pendidikan apa sebenarnya, yang dimaksud R.A Kartini pada waktu itu. Padahal, ketika itu pendidikan keagamaan, dalam hal ini agama Islam sudah diajarkan pada mereka, kaum perempuan. Apakah pendidikan ala barat? Ala Belanda?

Di sinilah, letak keheranan saya, kenapa, R.A Kartini yang nota bene bersahabat dengan orang Belanda, yang bangsanya pada saat itu menjajah bangsa kita. Menjadi seorang tokoh utama perempuan yang menjadi contoh bagi perempuan Indonesia. Bukannya Cut Nyak Dien, yang walaupun seorang perempuan, dengan gagah beraninya melawan Belanda dengan rencongnya di Tanah Aceh. Mengapa bukan Cut Nyak Dien?

Menurut saya, Cut Nyak Dien lebih pantas menduduki sosok pertama perempuan Indonesia yang patut dikenang jasa-jasanya daripada R.A Kartini. Cut Nyak Dien berani melawan dengan secara terang-terangan bangsa penjajah dan penindas dari bumi Aceh. Untuk mengusir para penjajah itu. Sedangkan R.A Kartini malah bersurat-suratan dengan orang Belanda pada saat itu. Walaupun, suratnya berisi tentang sesuatu yang dianggap berjasa bagi kaum perempuan. Tentang kesamaan hak. Tapi hak untuk apa? Bukankah, ajaran Islam sendiri telah mengangkat harkat dan martabat perempuan.

Bukannya saya tidak menghargai ataupun menganggap bahwa R.A Kartini tidak punya andil atau tidak berjasa dalam memperjuangkan hak perempuan. Tetap R.A Kartini punya jasa dengan ide-idenya untuk memajukan perempuan. Tetapi , Cut Nyak Dien sudah membuktikan bahwa dirinya sosok perempuan yang berani, tangguh dan pantang menyerah walaupun akhirnya ditawan oleh tentara Belanda. Cut Nyak Dien, menggambarkan betapa sosok perempuan, juga punya kapasitas melawan para penjajah. Bukan cuma kaum laki-laki saja.

Tapi, walaupun begitu. Saya menghormati dan mengucapkan "Selamat Hari Kartini" bagi yang memperingatinya. Tetapi, bagi saya, Cut Nyak Dinlah yang lebih pantas dan lebih layak untuk itu, mendapat posisi yang lebih utama di hati kaum perempuan Indonesia. Dan masih banyak tokoh-tokoh perempuan lainnya yang lebih layak tinimbang R.A Kartini. Mari belajar sejarah.

Minggu, 10 April 2016

Gejolak Hati Seorang Isteri



Malam ini terasa sepi. Rembulan di atas langit tertutupi awan yang cukup tebal. Bintang-bintang pun bersembunyi di balik awan. Suara desiran angin sesekali terdengar. Malam ini aku sendirian lagi bertemankan nyamuk-nyamuk yang pada reseh. Menggigit kakiku, tanganku dan semua yang tidak tertutupi. Sesekali kukibaskan tanganku untuk mengusir nyamuk-nyamuk nakal itu. Tadi siang aku lupa beli obat nyamuk. Padahal persediaan sudah habis. Aku tidak suka pakai kelambu, dengan alasan panas rasanya tidur di dalam kelambu.

Malam ini sudah sekian kalinya, suamiku, Daeng Arif, tidak menemaniku. Soalnya, ada tugas ke luar kota katanya. Dia ditugaskan dari kantor. Kuakui terasa sepi tanpa Daeng Arif di sisiku. Sepi ini begitu mencekam. Apalagi kami belum dikaruniai anak. Anak sang penyejuk mata. Kalau ada anak, mungkin rasa sepi ini takkan begitu kurasakan. Karena ada sang anak menemani. Entah mengapa, saya dan Daeng Arif belum dikarunia momongan. Padahal sudah empat tahun kami menikah. Kami sudah memeriksakan diri ke dokter kandungan. Tak ada masalah dengan kami berdua. Memang pernah ada kista di rahimku. Tapi kista itu sudah diangkat. Dan dokter menyatakan aku sehat dan siap punya anak. Kalau kami belum dikaruniai buah hati, barangkali belum rezeki kami.

Aku kenal Daeng Arif melalui sepupuku. Sepupuku, Maya, memang sangat besar perhatiannya padaku. Dia kasian padaku, yang sudah berusia mendekati kepala empat. Daeng Arif jauh lebih muda dariku. Sekitar lima tahunan jaraknya. Tetapi aku tidak mempersoalkan umur. Yang penting dia bertanggung jawab. Lagipula menurutku cinta tak mengenal perbedaan umur.

Tanpa melalui proses pacaran yang lama. Setelah berapa kali kami bertemu, Daeng Arif melamarku. Aku pun menerima lamarannya. Setelah melalui beberapa prosesi lamaran, kami menikah dengan pesta yang cukup meriah. Banyak kawan-kawan yang datang. Kami begitu bahagia.

Saat ini sudah hampir mencapai lima tahun usia pernikahan kami. Tapi yang dinanti belum juga ada tanda-tanda bakal kehadirannya. Aku merasa tertekan setiap ada yang tanya padaku. Sudah berapa anakmu, Hani? Tapi Daeng Arif, malah santai saja mendengarnya. Dia bilang, jangan hiraukan kata-kata mereka. Ada atau tanpa anak, dia bahagia hidup denganku. Entah terbuat dari apa hati suamiku. Begitu sabarnya dia. Saya kadang berfikir, sanggupkah suamiku dengan kondisi pernikahan seperti ini. Tidak punya keturunan. Bukankah, salah satu tujuan orang menikah itu, untuk memperoleh keturunan. Saya pernah bertanya seperti itu kepadanya. Apa jawab suamiku. Jawabnya, "Khan, kita bisa angkat anak. Anak tidak harus yang kamu lahirkan. Banyak anak yang terlunta-lunta di luar sana. Ada juga yang di panti asuhan. Me reka butuh kasih sayang kita. Suatu saat kita akan mengangkat salah satu dari mereka."

Rencana untuk mengangkat anak itu belum terlaksana sampai saat ini. Barangkali karena kesibukan Daeng Arif di kantornya. Kantornya buka cabang baru di tempat lain. Dan suamiku yang diamanahkan untuk mengurus segala sesuatunya. Mendapat kepercayaan dari kantor membuat Daeng Arif begitu bersemangat. Aku pun ikut senang mendengar hal ini. Bukankah suatu kesyukuran apabila kita mendapat kepercayaan dari orang lain. Apalagi dari pemimpin perusahaan tempat kita bekerja.

Begitulah, setelah mendapat amanah di kantor cabang baru itu. Daeng Arif semakin sibuk dengan pekerjaannya. Sering kudengar ada telpon dari kantor. Katanya ada urusan kantor mendadak. Maklum cabang baru. Jadi banyak urusan yang mesti diselesaikan.

Aku tak pernah curiga kepada Daeng Arif. Aku percaya pada suamiku. Bahwa dia lelaki yang setia. Lelaki yang tak mau menyakiti wanita, apalagi istrinya sendiri. Yah, aku sangat percaya padanya. Sampai suatu sore saya melihat hp suamiku yang tergeletak di atas meja dalam kamar tidur kami. Suamiku kebetulan berada dalam kamar mandi. Lagi mandi sore. Terdengar gemercik air dari dalam kamar mandi. Aku angkat hp itu, sepertinya ada panggilan. Tapi tidak terdengar bunyi panggilan. Ternyata hp itu disetting dengan mode diam. Aku lalu melihat sebuah nama perempuan tertulis di sana. ARYANI. Oh..Aryani. Siapa dia yah. Teman kantornya kah atau siapa? Aku tak tau.

Saat Daeng Arif keluar dari kamar mandi, kutanyakan siapa Aryani pada suamiku. Begitulah, aku terkadang tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku. Aku mesti dapat jawaban secepatnya, jika aku penasaran. Kalau tidak, aku bisa memikirkannya sepanjang hari. Mendengar pertanyaanku, Daeng Arif menjawab bahwa Aryani adalah karyawan baru di kantornya. Karena pekerjaan menumpuk, Aryani membawa pekerjaan ke rumahnya. Mungkin karena ada pekerjaan yang kurang dimengertinya, makanya Aryani menelpon suamiku. Aku mengangguk-angguk mendengar jawabannya. Walaupun terasa aneh kedengarannya. Mengapa suamiku yang slalu ditelponnya. Bukan karyawan lainnya. Apalagi ada beberapa karyawan lama yang juga pasti mengerti masalah-masalah seperti itu.

                    *****************

Malam ini suamiku pergi lagi. Aku merasa kesepian. Kucoba mengusir sepi ini dengan menonton televisi. Kuputar chanel 1, lalu ganti-ganti chanel . Tak ada yang menarik. Kuraih buku novel dari tempatnya. Kubuka lembaran pertama, lalu lembaran kedua. Seperti tak ada selera untuk membacanya. Kutaruh novel itu ke rak buku kembali. Akhirnya kuputuskan untuk segera tidur. Tapi mata ini tak mau terpejam. Aku bangkit dari tempat tidur. Menuju ke kamar mandi. Aku berwudhu dan kemudian kulangkahkan kakiku menuju mushalla mungilku. Di situlah tempatku, bermunajat kepada-Nya.

Setelah itu, aku merasa cukup tenang. Perasaan lega memenuhi ruang kalbuku. Aku telah menuangkan segala perasaanku. Tentang kegalauanku kepada Sang Maha Penyayang. Apapun yang terjadi ke depan. Semuanya akan kujalani dengan segala kepasrahan.

Kudengar ketukan pintu. Aku bangkit dan berjalan menuju ke pintu depan. Ke arah suara ketukan berasal. Kubuka pintu dengan perlahan. Dan kulihat suamiku berdiri di depan pintu. Kulihat dia begitu kuyuh. Barangkali dia begitu lelah bekerja. Aku kasian padanya. Lalu suamiku masuk. Dengan langkah gontai. Aku mengikutinya dan menanyakan apakah Daeng Arif ingin minum teh atau semacamnya. Daeng Arif bilang, "Tak usah, sayang. Engkau cukup lelah menungguku bukan?" Sambil tersenyum, aku bilang, "Ndak apa Daeng, khan cuman teh saja." Daeng Arif balas tersenyum.

Aku ke dapur. Tidak lama kemudian, aku membawa 2 gelas teh hangat di atas nampan. Satu untuk daeng Arif dan satu untukku. Setelah minum teh, daeng Arif lalu berkata, "Hani, aku mau tanya ke kamu." Saya jawab sambil tersenyum, "Langsung saja Daeng, tanya saja. Kok bertanya dulu."  Daeng Arif berkata," Oh, iyya. Bagaimana menurutmu, kalau aku sudah menikah lagi dek Hani."  Aku terperanjat mendengar pertanyaan itu. Aku sebenarnya sudah tau arah pertanyaan Daeng Arif. Tapi tetap saja aku kaget dan merasa terpukul. Kucoba menguatkan hatiku. Bersusah payah aku menahan air mataku untuk tidak tumpah. Tapi air mataku sepertinya tak dapat terbendung lagi. Aku menangis. Daeng Arif memelukku dan berusaha menenangkanku.

Setelah tangisku reda. Aku berkata kepada suamiku, "Sudah kuduga Daeng, sebenarnya selama ini aku sudah curiga. Tapi aku mau, Daeng  jujur kepadaku. Kenapa Daeng  tega melakukan semua ini padaku. Aku belum siap Daeng."  Daeng Arif menjawab, "Maafkan aku Dek
Hani, Aku tidak minta izin sebelumnya padamu. Aku takut kamu tidak mengizinkan aku menikah lagi. Aku melakukan ini karena aku ingin punya keturunan. Umurku sudah mulai menua, anak belum punya."  Dengan tersedu, aku membalas, "Aku khan sudah bilang Daeng, tapi Daeng selalu menyemangati aku. Rencana kita untuk angkat anak, gimana? Siapa yang punya usulan seperti itu? Daeng sendiri, khan. Ternyata sekarang Daeng ternyata sudah menikah lagi." Tangisku kembali pecah. Tak tertahankan. Sakit rasanya hati ini. Merasa dikhianati oleh orang yang kucintai.

Aku sedih dan juga marah. Aku menyuruh Daeng Arif meninggalkanku sendiri. Biarlah dia malam ini tidur di kamar tamu. Aku mau sendiri. Aku menutup pintu. Aku merasa terpuruk. Aku rebahkan badan di kasur. Menangis sejadi-jadinya. Sampai bantal menjadi basah karena air mata yang tumpah ruah, seperti tak ada habis-habisnya. Aku tak peduli mataku memerah dan bengkak karena tangisan ini.

Dini hari menjelang, kokok ayam jantan saling bersahutan. Aku masih menangis meluahkan perasaan. Aku bangkit menuju ke kamar kecil. Mau berwudhu. Seusai berwudhu aku menuju musholla. Ternyata Daeng Arif sudah ada terlebih dahulu di musholla. Dia sementara sholat. Aku tidak jadi ke musholla. Balik kembali ke kamar. Di kamar aku juga bisa sholat. Rasanya aku belum siap untuk bertemu dan berbicara lagi dengan Daeng Arif. Di atas sajadah, aku bersujud ke haribaan-Nya. Melepas segala duka yang kurasakan. Bertanya kepada-Nya, mengapa hal ini terjadi padaku. Mengapa? Sesuatu yang sangat menyakitkan dan mengiris hati. Tapi apa daya. Barangkali memang ini takdir yang harus kujalani. Menjadi istri pertama.

Paginya, suara ketukan di pintu kamar membangunkan aku. Ternyata daeng Arif. Suamiku lalu berkata, "Hani, saya mau berangkat dulu ke kantor, yah. Itu ada di atas meja sarapan buatmu. Pasti kamu lapar, dari tadi malam nangis terus." Aku tidak menjawab. Rasa sakit hati masih sangat terasa. Aku tak lapar. Dan tak mau makan. Terdengar bunyi mobil, Daeng Arif meninggalkan rumah menuju kantornya.

Aku keluar kamar. Menuju ke kamar mandi. Kuguyur badanku dengan air dingin. Kuharap kepalaku menjadi dingin. Demikian pula hatiku. Agar kemarahan dan kesedihanku mereda. Setelah mandi, badanku menjadi segar. Aku berfikir, tak mudah memang menerima kenyataan ini. Tapi semua sudah terjadi. Toh, ini bukan kesalahan Daeng Arif semata. Dia ingin punya keturunan. Bersamaku tak cukup. Butuh orang lain yang bisa memberikan keturunan buatnya. Oh. Tuhan...apakah aku sanggup menerima semua ini.

Menjelang magrib, suara mobil Daeng Arif memasuki halaman. Kubukakan pintu rumah. Tanpa menunggunya, aku balik ke kamar. Sekarang kamar menjadi tempat favoritku. Aku malas keluar. Terdengar suara pintu ditutup. Daeng Arif mengetuk pintu kamar. Minta diijinkan masuk. Aku kemudian membuka pintu. Dia membawakan aku makanan kesukaanku, gado-gado. Tapi aku tak lapar. Suamiku bilang, "Hani ayo kita makan gado-gado ini yah, Daeng juga belum makan nih." Aku jawab, "Aku tak lapar Daeng,"  Suamiku   bilang, "Klo begitu temani aku saja yah." Aku mengangguk.

Selesai makan, Daeng Arif berkata, "Hani, aku tau kamu marah. Dan aku mengerti mengapa kamu marah. Maafkan aku. Aku cuma ingin keturunan. Itu saja. Satu-satunya perempuan yang kucintai hanya kamu. Tapi aku tak kuasa menolak cinta Riyani. Dia yang selalu membantuku di kantor. Dia sangat baik padaku. aku berutang budi padanya. Dan yang terpenting, dia mau jadi isteri kedua. Dia akan menghormatimu sebagai isteri pertamaku." Aku kemudian menjawab, "Baiklah kalau begitu, Daeng.  Walaupun hatiku terasa sakit. Aku menerima semua ini yang penting Daengku harus adil." Daeng Arif memelukku dan berkata, "Terima kasih sayang, atas pengertiannya." Dan bulanpun meredup, di atas sana. Seperti merasakan derita hati yang belum sembuh dari sakit yang mendera.

Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Sudah menginjak dua tahun. Sejak Daeng Arif menikah lagi dengan Aryani.  Suamiku berusaha adil kepada kami berdua. Istri-istrinya. Tapi biar bagaimanapun perasaan sakit yang kurasakan. Tak pernah betul-betul sembuh. Sampai saat ini hubunganku dengan demadku - adek maduku belum bisa harmonis. Saya tidak mengerti mengapa disebut madu. Madu khan rasanya manis. Sesuatu yang menyenangkan. Ini??? Aku tak habis pikir dengan istilah itu. Begitulah hubunganku dengan Aryani, tak pernah betul-betul baik. Sering kami bepergian bersama. Menghadiri acara bersama. Tapi tak pernah ada komunikasi yang tercipta antara kami berdua. Daeng Arif sudah berusaha mendekatkan kami berdua. Tapi sepertinya, semuanya sia-sia. Ada yang mengganjal. Terutama dariku. Sepertinya, aku tak pernah betul-betul rela dimadu. Aku seperti dipaksa untuk menjalani kehidupan seperti ini. Tapi demi cintaku yang begitu besar pada suamiku, Daeng Arif. Aku mencoba bertahan. Walau ada wanita lain dalam kehidupan suamiku.

Sudah menginjak dua tahun pernikahan Daeng Arif dan Aryani. Mereka belum juga dikaruniai anak. Padahal suamiku sangat mendambakan keturunan. Pernikahannya dengan Aryani untuk memperoleh keturunan. Sesuatu yang belum didapatkannya melalui pernikahannya denganku. Sepertinya Daeng Arif mulai putus asa. Sampai kapan menanti dan menanti sang buah hati yang tak kunjung tiba.

Tiba-tiba, di suatu pagi yang cerah. Aku merasa mual. Kepala terasa pusing jika berdiri. Aku kira aku lagi masuk angin. Aku cari minyak kayu putih. Kuoleskan ke dahi dan perut. Rasa pusing agak mereda karenanya. Aku berbaring di tempat tidur saja. Menunggu Daeng Arif pulang. Tadi suamiku nelpon, dia merasa cemas. Katanya, dia mau cepat pulang. Kudengar bunyi suara mobil memasuki halaman rumah, Daeng Arif dengan langkah tergesa memasuki kamar. Daeng Arif bertanya, "Sakit apa Hani? Ayo kita ke dokter." Aku jawab, "Aku tak apa-apa, Daeng. Aku hanya pusing." Dengan lega, suamiku berkata, "Klo begitu, aku pijitin yah, supaya lekas sembuh. Tapi, besok kita ke dokter yah, periksakan kesehatan kamu." Aku bilang, "Iyye Daeng, besok kita ke dokter."

Keesokan harinya, aku bersama Daeng Arif ke dokter praktek langganan kami. Sebenarnya aku malas pergi ke dokter. Kalau aku sakit paling obatku madu sama minyak kayu putih. Tapi kali ini, karena tadi pagi berulang lagi mual muntahnya, Daeng Arif khawatir akan kondisiku. Setelah berbagai pemeriksaan kujalani. Hasilnya ternyata aku positif hamil. Haah...aku kaget campur bahagia. Lebih-lebih suamiku, dia langsung bersujud syukur. Akhirnya akan terwujud sudah keinginan dan impiannya. Punya keturunan.

Kami pulang dengan hati riang. Namun, ada ganjalan sedikit. Menurut dokter, aku harus menjaga baik-baik kandunganku. Apalagi umur yang sudah rentan. Kalau aku keguguran, bisa-bisa aku tidak bisa hamil lagi. Aku cuma pasrah. Tapi aku akan berusaha menjaga dan mempertahankan kehamilanku ini. Semoga bisa selamat. Insya Allah, aku akan mampu melewati semua ini.

Sejak mengetahui diriku hamil, Daeng Arif betul-betul sangat memperhatikan diriku. Dia tak memperbolehkan aku kecapean. Untuk itu dia mencarikan aku asisten rumah tangga yang bisa membantuku mengurus rumah dan memasak. Akhir-akhir ini, Deeng Arif lebih sering menemaniku. Dia lebih sering ada di rumah. Pernah kutanyakan kenapa Daeng Arif tidak pulang ke rumah Aryani. Dia bilang bahwa aku lebih membutuhkannya daripada Aryani. Waduh...sudah tidak beres ini. Bagaimana ini? Ini khan sudah tidak adil namanya. Lalu aku menyuruh Daeng Arif pulang ke rumah Aryani. Aku khawatir Daeng Arif berdosa dengan sikapnya. Aku khan takut kena imbasnya.

Daeng Arif meninggalkanku dengan hati kecewa. Sepertinya dia ingin menemaniku. Tapi apa boleh buat, dia punya isteri selain diriku. Yang harus dia datangi dan perhatikan juga. Sebagai seorang isteri yang baik. Tentu saja aku harus menjaga suamiku dari berbuat dosa. Tidak adil terhadap isteri itu perbuatan dosa. Peringatan Tuhan sudah jelas dalam firman-Nya. Seorang laki-laki bisa menikahi sampai empat perempuan yang penting bisa berlaku adil terhadap mereka. Kalau merasa tidak bisa adil, ya cukup satu saja.

Kehamilanku memang terasa berat. Apalagi ini yang pertama di usia yang sudah rentan untuk hamil. Tetapi mengingat, bayi yang kukandung, buah hati yang selama ini kami nanti-nanti. Semangatku berlipat-lipat. Aku bahagia dengan keberadaannya di rahimku. Aku rela merasakan apa saja. Demi dirinya, buah hatiku.

Aku rajin ke dokter memeriksakan kehamilanku. Setiap nasehat yang diberi kupatuhi. Berbagai suplemen dan vitamin yang diresepkan kulahap, demi kesehatan si bayi. Makanan bergizi pun demikian.

Maka, tibalah hari yang dinanti-nanti. Akan lahirnya si buah hati. Tetiba, aku merasa rasa sakit di perutku yang lain dari yang biasanya. Semakin lama semakin sering. Aku menelepon Daeng Arif. Daeng Arif pulang dan kemudian mengantarku ke rumah sakit bersalin.

Sesampai di rumah sakit, aku diperiksa katanya masih lama proses kelahirannya. Baru pembukaan pertama. Tapi aku merasa sangat kesakitan. Berbagai doa kulantunkan. Demi kelancaran kelahiran si buah hati. Aku jalan-jalan terus selama di rumah sakit. Semakin sering jalan. Katanya pergerakan bayi turun semakin cepat. Rasa sakit yang kurasakan karena bayi mencari jalan keluar. Tetiba, ada air yang mengucur membasahi kain sarung yang kupakai. Aku segera  memanggil dokter. Menanyakan apa yang terjadi. Katanya, air ketuban sudah keluar. Aku diperiksa lagi. Kata dokter, pembukaan sudah lengkap. Mulailah proses persalinan. Ternyata rasanya luar biasa. Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Sakit yang tak ada duanya. Hanya Nama-Nya yang tak henti-hentinya kusebut. Kupasrahkan segalanya.

Kemudian, terdengarlah tangisan bayi. Melengking, memecah kesunyian malam. Menandai dimulainya kehidupan baru. Kelahiran seorang bayi mungil yang membawa harapan baru dan kebahagiaan tak terlukiskan dengan beribu kata. Terutama bagi kedua orang tuanya. Yang telah lama mendambanya. Rasa sakit yang kurasakan seperti sirna seketika bersamaan dengan kelahirannya. Setelah dibersihkan dan diberi pakaian, bidan menyerahkan bayi lelaki itu kepada Daeng Arif.  Suamiku kemudian membacakan azan di telinga anak kami. Dia terlihat begitu bahagia menimang anaknya. Matanya kelihatan berkaca-kaca. Kemudian Daeng Arif menyerahkannya kepadaku. Lalu  dia berkata, "Terima kasih sayang, engkau telah berjuang. Anak kita normal dan sehat. Alhamdulillah. Kini, beristirahatlah."

Setelah aku cukup sehat, kami pulang ke rumah dengan perasaan bahagia. Apalagi sekarang, sudah ada si kecil di antara kami. Hari-hari jadi berwarna karena kehadirannya. Walaupun mesti begadang menunggui sang bayi tertidur, aku merasa senang. Apalagi ada sang ayah yang sangat perhatian sama anaknya. Di malam hari, tak jarang Daeng Arif, yang mengganti popoknya ketika aku kecapean.

Oh ya, suamiku sudah setiap hari selalu ada di rumah. Kenapa bisa. Khan ada isterinya yang lain. Begini ceritanya. Daeng Arif sepertinya enggan meninggalkanku yang lagi hamil. Aryani merasa bahwa Deeng Arif tidak mencintainya. Karena setiap Daeng Arif di rumah Aryani, hanya aku yang lagi hamil, yang jadi bahan pembicaraannya. Aryani merasa tidak tahan karena walaupun Daeng Arif berada di rumahnya, namun jiwa dan pikiran Daeng Arif bersamaku. Istri pertamanya. Akhirnya Aryani minta cerai. Walaupun dengan berat hati, Daeng Arif mengabulkannya.

Hari-hari selanjutnya kulalui dengan bahagia. Bersama anak dan suamiku. Walaupun, pernah terselip kisah sedih yang menghiasi perjalanan hidupku. Aryani pun demikian, kudengar sudah menikah lagi. Semoga diapun bahagia dengan kehidupan barunya.

Sumber Photo by Google.

By : Hamsinah Hamid