Rabu, 26 Februari 2020

Partner Terbaik dan Manifestasi Kelembutan seorang Istri





Pada postingan sebelumnya, telah diuraikan dimensi keteladanan dari Bunda Fatimah Az-Zahra dari segi ibadah dan peningkatan spiritualnya. Kali ini, akan dipaparkan dimensi keteladanan beliau yang lainnya, yaitu sebagai partner terbaik dan manifestasi kelembutan seorang isteri.
Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Pasangan itu menyatu membina rumah tangga menjadi sepasang suami-isteri. Pasangan yang saling melengkapi dan memberikan  kenyamanan. Pasangan ideal adalah teman dalam ketaatan kepada Allah Swt.
Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali adalah pasangan yang ideal. Karena itu Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada yang sepadan dengan Fatimah Az-Zahra kecuali Ali.”
Fatimah Az-Zahrah adalah partner terbaik bagi pasangannya dalam ketaatan kepada Allah SWT, seperti yang pernah diucapkan Imam Ali, “Dia adalah sebaik-baiknya penolong dalam ketaatan kepada Allah.”
Sebaliknya, saat Rasulullah saw bertanya kepada Sayyidah Fatimah Az-Zahra tentang Imam, beliau berkata, “Wahai ayahku, dia suami yang paling baik.”
Selama Sembilan tahun masa pernikahannya dengan Imam Ali, Fatimah Az-Zahra menjalankan perannya sebagai isteri dan ibu bagi anak-anak dengan baik. Sehingga Imam Ali dapat berjuang dengan tenang.
Pada masa hidup bersama Fatimah, Imam Ali sering pergi berjihad. Segala permasalahan dan rasa lelah Imam Ali menjadi hilang saat memandang wajah isterinya tercinta, “Tiap kali aku memandang wajahnya, hilanglah semua kegundahan dan kesedihanku. Sumpah demi Allah, Aku tidak pernah membuat Fatimah marah dan sedih…dan Fatimah pun tidak pernah membuatku marah dan sedih.”
Mengenal sejarah kehidupan manusia teladan, bukan sekadar untuk diketahui. Tapi, lebih dari itu, kehidupan mereka harus dieladani untuk kehidupan kita.
Tidak sedikit pasangan suami-isteri yang bercerai atau  rumah tangga dipenuhi pertengkaran, padahal dari segi ekonomi mereka tidak berkekurangan. Karena itru, lihatlah, rumah tangga Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali, dengan segala kesederhanaannya, namun menjadi rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Dalam menjelaskan betapa beratnya bunda Fatimah Az-Zahra mengerjakan pekerjaan rumah tangga, namun tetap dilakukan dengan penuh keikhlasan.
Imam Ali berkata, “Apakah harus aku katakana kepada kalian tentang aku dan Fatimah? Fatimah orang yang sangat dicintai Rasulullah dalam keluarganya. Fatimah hidup bersamaku. Karena seringnya menggiling gandum, gilingan gandum itu membekas di tangannya.
Karena seringnya membawa tempat air, ada tanda di badannya. Karena seringnya menyapu rumah, bajunya sering dipenuhi debu. Karena seringnya menyalakan tungku, bajunya pun berwarna kehitaman karena asap. Dia sempat terluka karena mengerjakan pekerjaan rumah.”
Suatu hari, aku mendengar seorang budak dibawa menghadap Rasulullah saw. Aku berkata pada Fatimah, “Tidak ada salahnya engkau pergi ke rumah ayahmu untuk meminta seorang budak yang dapat membantu pekerjaan rumahmu. Fatimah pun pergi menghadap Rasulullah saw. Saat itu dia melihat ayahnya tengah berbincang-bincang.
Karena malu, akhirnya Fatimah kembali ke rumah. Besoknya Rasulullah mendatangi rumah kami. Beliau kemudian duduk di samping Fatimah dan berkata, “Kemarin apa yang Engkau ingnkan dariku?” Fatimah diam tidak menjawab. Rasulullah kembali bertanya namun Fatimah kembali diam, tidak menjawab.
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, sumpah demi Tuhan aku akan mengatakan hal itu padamu. Karena seringnya Fatimah menggiling gandum, sampai-sampai gilingan gandum membekas di tangannya. Karena seringnya membawa tempat air, sampai ada bekas di badannya. Karena seringnya menyapu rumah sampai hitam bajunya. Kami dengar ada seorang budak dibawa kepadamu, karena itu aku menyuruhnya untuk meminta pembantu kepadamu.” (Sunan Abu Daud, jilid 4, hal 315)
Namun demikian, di saat memungkinkan Imam Ali akan membantu Sayidah Fatimah mengerjakan pekerjaan rumah. Imam Ali pergi mencari kayu bakar, mengambil air danmenyapu rumah, sementara Sayidah Fatimah menumbuk gandum dan membuat roti.
Masalah ekonomi bukan segalanya. Permasalahan selalu ada dalam rumah tangga. Namun, jika pasangan suami isteri sejak awal sudah berkomitmen untuk menjadikan rumah tangga sebagai sarana ibadah dan ketaatan kepada Allah swt, maka rumah tangga akan penuh berkah.
Pasangan suami isteri hendaknya saling mengerti kondisi pasangannya, saling memberikan motivasi dan ketenangan, maka itulah spirit yang diajarkan Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali kepada semua pasangan suami istri di dunia ini.
Apakah kita merasa nyaman  berada di samping pasangan atau sebaliknya? Apakah lebih senang berada di rumah saat bersama pasangan, atau sebaliknya lebih senang  dan nyamana berada di luar rumah dan jauh dari pasangan?
Jika kita lebih senang dan nyaman saat jauh dari pasangan berarti kita masih jauh dari meneladani kehidupan rumah tangga Sayidah Fatimah Az-Zahra.
Fatimah Az-Zahra pun mengajarkan kepada kita untuk setia kepada pasangan dalam segala kondisi. Karena biasanya, kesetiaan pasangan akan goyah saat kesulitan hidup menimpa, terutama kesulitan ekonomi.
Sehingga tidak heran, sering kita dengar di tengah masyarakat, ungkapan ‘ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang’.
Kesetiaan Sayidah Fatimah Az-Zahra tercermin melalui perkataan beliau kepada Imam Ali, “Wahai Abal Hasan yang rohku sebagai tebusan untukmu, jiwaku sebagai tebusan jiwamu, jika engkau dalam kebaikan, aku bersamamu, begitupula jika engkau dalam kesulitan, aku juga akan tetap bersamamu.”
Seorang isteri yang sholehah akan senantiasa memikirkan kenyamanan suaminya. Ini juga yang dilakukan Sayidah Fatimah Az-Zahra. Beliau senantiasa memikirkan kenyamanan suaminya meski ajal sudah dekat beliau rasakan. Bahkan, beliau pun telah memikirkan kenyamanan suaminya pasca wafatnya.
Detik-detik menjelang ajalnya, Imam Ali melihat Sayidah Fatimah Az-Zahra menangis. Beliau berkata, “Fatimahku sayang, kenapa Engkau menangis?” Sayidah Fatimah menjawab, “Aku menangis karena memikirkan musibah dan kesulitan yang akan menimpamu setelah kepergianku.”
Beliau mewasiatkan kepada Imam Ali untuk menikahi Ummul Banin karena Ummul Banin dekat dengan putera-puterinya. Dan mengatakan kepada Imam Ali bahwa seorang lelaki sulit hidup tanpa isteri.
Karena itu, Sayidah Fatimah dikenal dengan haniyah, yaitu seorang perempuan yang sangat penyayang dan lemah lembut terhadap suaminya. Kasih sayang dan kelembutannya sangat luar biasa ditumpahkan untuk kebahagiaan dan kenyamanan suaminya.
Itulah puncak cinta, kasih sayang dan kelembutan seorang isteri. Itulah manifestasi kelembutan dan kasih sayang seorang isteri.

Sumber : Muslimah Idol, Napak Tilas Kehidupan Para Perempuan Teladan, karya Euis Daryati, MA.  Hal. 112-117

Sumber Gambar: en.alkawthartv.com

Minggu, 23 Februari 2020

GETARAN POLIGAMI

 


        Sepasang suami isteri yang bahagia. Begitulah, kesan pertama yang nampak ketika bersua dengan pasangan itu. Senyum sumringah yang selalu tersungging dari bibir mereka membuat yang memandangnya pun turut senang. Jika melihat aura kebahagiaan mereka, mungkin orang lain tidak percaya kalau mereka, Hamdan dan Miriam, sudah melewati ujian yang cukup berat sebelum pernikahan mereka.

        Hamdan dan Miriam kuliah di kampus yang sama. Namun berbeda fakultas, Hamdan di Fakultas Tehnik dan Miriam di Fakultas Ekonomi. Sebenarnya keluarga Hamdan bukanlah orang berada. Pada awalnya orang tua Hamdan tidak mengijinkannya kuliah di kota. Khawatir tidak bisa membiayai kuliah anak mereka. Namun, anak itu terus membujuk orang tuanya dan memperlihatkan kesungguhannya. Hamdan berjanji untuk giat belajar dan akan berupaya memperoleh beasiswa untuk membiayai kuliahnya.

        Melihat tekad anaknya yang setinggi langit, orang tua Hamdan akhirnya menyetujui keinginan anaknya itu melanjutkan kuliahnya di kota. Orang tua Hamdan pun sebenarnya punya keinginan menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Apalagi Hamdan memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sejak ia bersekolah, setiap kenaikan kelas Hamdan seringkali juara kelas. Untuk mewujudkan keinginan anaknya itu, orang tua Hamdan akhirnya merelakan kebun peninggalan kakek Hamdan yang cukup luas di kampung.

        Berbeda dengan Hamdan, Miriam adalah anak seorang pengusaha yang cukup berhasil di kota Makassar. Miriam, seorang gadis yang cantik, lembut dan cukup cerdas. Kendati, ia anak orang kaya ia tidaklah angkuh. Dalam bergaul, ia tidak memilih-milih teman. Ia berteman dengan siapa saja. Oleh karena itu, ia disukai teman-temannya. Keinginannya untuk kuliah tidak memperoleh hambatan sama sekali. Dengan kecerdasannya, ia berhasil lolos seleksi di kampus idamannya.

        Hamdan dan Miriam punya hobi yang sama. Mereka senang berorganisasi. Hobi mereka itulah yang mempertemukan keduanya. Yah, Hamdan dan Miriam dipertemukan dalam suatu organisasi mahasiwa ekstern. Mereka menjadi pengurus aktif di komisariat masing-masing. Hamdan di Komisariat Teknik dan Miriam di Komisariat Ekonomi. Dalam banyak kegiatan, mereka sering berjumpa. Lantaran komisariat mereka bekerja sama melakukan suatu kegiatan.

        Kendati mereka sering bertemu, tidak serta-merta mereka punya perasaan terhadap satu sama lain. Semuanya berjalan seperti biasa. Setelah kepengurusan di komisariat berakhir, mereka kemudian menjadi pengurus cabang. Di penghujung kepengurusan, mereka dijodohkan oleh teman-teman sesama pengurus.

        Berawal dari perjodohan itu, mulai timbul ketertarikan antara keduanya. Namun mereka tidak berpacaran. Sebab pacaran merupakan sesuatu yang tabu dalam organisasi itu. Pun, mereka sudah paham tentang batas-batas pergaulan. Hamdan dan Miriam tetap menjaga jarak. Lagipula mereka berniat menyelesaikan kuliah mereka terlebih dahulu.

        Niat mereka untuk tidak melalui proses pacaran, suatu hal yang langka di jaman seperti ini. Dimana pacaran sudah dianggap suatu hal yang dianggap wajar dan lumrah. Kata sebagian orang, pacaran itu suatu proses ta’aruf. Untuk saling mengenal sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Namun, menurut Hamdan dan Miriam, ta’arufnya bisa setelah menikah saja. Pun, orang yang berpacaran bertahun-tahun lamanya tidak ada jaminan pernikahannya akan langgeng. Toh, selama ini sedikit banyak mereka sudah saling kenal satu sama lain.

        Tidak terasa, Hamdan dan Miriam sudah menjadi sarjana. Hamdan melamar pekerjaan di salah satu bengkel. Sambil menunggu pendaftaran CPNS. Hamdan pun diterima. Setelah bekerja beberapa bulan, Hamdan berniat melamar Miriam. Maksudnya itupun disampaikan kepada gadis itu. Miriam dengan senang hati menerima itikad baik Hamdan untuk melamarnya. Ia mempersilakan Hamdan menemui kedua orangtuanya.

        Malam itu, Hamdan bertandang ke rumah Miriam. Tak disangka, Papi Miriam menilik dari ujung rambut sampai ke ujung kaki calon menantunya itu. Hamdan merasa risih mendapat perlakuan seperti itu. Ia sedikit menyesali.  Kenapa ia tidak membeli pakaian yang pantas dipakai menemui calon mertuanya yang kaya itu? Bukankah ia baru gajian.  Atau mengapa ia tidak meminjam dulu pakaian bagus dari temannya? Tetapi, di sisi lain ia ingin tampil apa adanya di hadapan calon mertuanya.

        Acara silaturrahmi itu akhirnya menjadi terasa garing.  Alih-alih terjadi dialog yang hangat, ini malah lebih banyak diamnya.

        "Saya Hamdan, Pak. Maksud saya ke sini, mau melamar anak Bapak," ujar Hamdan memberanikan diri memulai percakapan.
        "Oh, iya, Nak. Miriam sudah kasi tau maksud kedatangan Nak Hamdan.  Ngomong-ngomong, Nak Hamdan kerja dimana?" tanya Papa Miriam sambil melanjutkan membaca koran yang dari tadi dibacanya.
        "Saya kerja di bengkel, Pak," jawab Hamdan.
        "Oh, di bengkel ya? Memangnya, dengan bekerja di bengkel, Kamu bisa membahagiakan anak saya!!?  ujar Papa Miriam.
        "Insya Allah, Pak. Kerja di bengkel hanya sementara saja. Tahun ini saya akan melamar jadi pegawai negeri," jawab Hamdan mencoba meyakinkan calon mertuanya itu.
        "Iya, kalau lolos. Kalau tidak, bagaimana coba? Melamar anak orang dengan modal dengkul, mana bisa!?" Gerutu Papa Miriam.

        Mendengar kata-kata Papa Miriam, Hamdan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Ia tidak menyangka Papa Miriam ternyata sangat berbeda dengan anaknya. Miriam tidak menilai seseorang dari kekayaannya. Ia pun pamit dan segera berlalu dari tempat itu.

        Setelah Hamdan pulang, Papa Miriam berpikir, bisakah pemuda seperti itu membahagiakan anaknya. Seorang pemuda yang hanya bekerja di bengkel. Papa Miriam tidak setuju Hamdan menikahi anaknya. Menurut Papa Miriam, Hamdan tidak akan bisa membahagiakan anaknya. Anak yang selalu terpenuhi segala kebutuhannya. Selama ini apapun yang Miriam minta akan dikabulkan. Maklum, Miriam itu anak satu-satunya.

        Mama Miriam berpikir lebih bijaksana.

        “Jangan lihat dari penampilan, Pa. Lihatl Loah itikad baiknya untuk melamar anak kita. Coba tanyakan kepada Miriam, kan ia yang mau menikah,” ujar Mama Miriam sambil melirik kepada Miriam.

        “Ah, tidak perlu. Tentu saja, Miriam setuju menikah dengannya. Tapi, ia belum tahu betapa kerasnya kehidupan ini. Pokoknya, Miriam, Engkau tidak kuijinkan menikah dengan pemuda itu!” tegas Papa Miriam. “Lagipula, sahabat Papa, Pak Irwan sudah lama menanyakan Engkau. Katanya, ia ingin menjodohkanmu dengan anaknya. Anaknya itu lulusan luar negeri, sudah kerja pula di perusahaan papanya.”
        “Papa, saya tidak mengenal anak sahabat Papa itu.  Bagaimana perilaku dan sifatnya. Kalau Hamdan, saya sudah kenal karena satu organisasi. Orangnya baik dan bertanggung jawab. Saya percaya ia bisa membahagiakanku, Pa!” ujar Miriam berusaha meyakinkan Papanya.

        Mendengar perkataan Miriam, Papanya tidak menghiraukannya. Papa Miriam malah meninggalkan maryam menuju kamarnya. Ia takut berlama-lama di ruangan itu, khawatir penyakit jantungnya  kambuh. Sebenarnya ketidaksetujuannya akan pilihan Miriam itu karena ia ingin melihat anaknya bahagia.

        Papa Miriam melarang Miriam memikirkan Hamdan. Apalagi untuk berkomunikasi dengannya. Lantaran ia akan dijodohkan dengan anak sahabat Papa Miriam yang punya masa depan yang lebih cerah dibanding dengan Hamdan, pemuda miskin yang berasal dari kampung.

        Kenyataan itu membuat perasaan Miriam terguncang. Ia sama sekali tidak mau dijodohkan. Sebagai bentuk protesnya, ia mengurung diri di kamar. Ia tidak mau makan. Segala apa yang diantarkan ke kamarnya, tidak disentuhnya sama sekali. Akhirnya, Miriam jatuh sakit. Kondisi kesehatan Miriam setiap hari semakin menurun dan ia pun segera dilarikan ke rumah sakit.

        Melihat kondisi puterinya yang memprihatinkan, akhirnya Papa Miriam berubah pikiran. Ia akhirnya menyetujui pilihan puteri semata wayangnya. Keputusan itu ia ambil agar puterinya itu bisa pulih dan ceria kembali seperti dulu.

        “Miriam sayang, Papa minta maaf, Nak! Papa yang buat Miriam seperti ini. Saya setuju Engkau menikah dengan Hamdan,” bisik Papa Miriam ke telinga Miriam.
        “Betulkah itu, Papa? Papa setuju?” balas Miriam seperti tak percaya.
        “Iya, Nak. Papa setuju dengan pilihanmu, Nak!” Papa menegaskan.
        “Oh, syukurlah, Pa,” ujar Miriam memejamkan mata. 

        Perasaan lega menghinggapi kalbu Maryam. Bahagia terasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Sungguh luar biasa dampak kata-kata Papa Miriam. Miriam seperti mendapatkan kekuatan yang luar biasa. Setelah mengetahui perubahan sikap Papanya. Gairah hidupnya bangkit kembali.


*********

        Malam itu, setelah mengetahui  penolakan Papa Miriam.  Hamdan pulang dengan hati kecewa. Namun, ia pasrah dengan kenyataan itu. Faktanya, latar belakang ia dan Miriam memang jauh berbeda. Bagaikan langit dan bumi. Ia anak orang miskin sedangkan Miriam anak orang kaya. Sepertinya, tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi.

        Kendati niatnya tulus untuk menikah dengan Miriam. Demi membahagiakannya, ia rela bekerja keras. Namun, Papa Miriam tidak setuju ia menikah dengan puterinya. Dan, ia pun harus menerima kenyataan itu. Ia harus melupakan Miriam.

        Hamdan seorang pemuda yang tegar. Ia segera bangkit dari kekecewaannya. Ia bertekad bekerja lebih giat lagi agar ia bisa menjadi orang yang sukses. Hamdan pun bukan seorang pendendam, ia tidak membenci Papa Miriam. Kendati telah menolaknya menjadi seorang menantu.


**********

        Miriam berangsur pulih. Ia bermaksud memberitahu Hamdan tentang sikap papanya. Yang telah merestui niat mereka untuk menikah. Ia  menghubungi Hamdan via whattapps. Hamdan heran dengan perubahan sikap Papa Miriam. Kenapa tiba-tiba Papa Miriam berubah? Begitu pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Ia tidak mengetahui bahwa Miriam sebelum ini jatuh sakit. Harapannya muncul kembali untuk mempersunting gadis baik itu.

        Hamdan pulang kampung untuk memberitahu orang tuanya tentang rencananya pernikahannya. Orangtua Hamdan senang mendengar kabar itu. Soalnya mereka sudah ingin menimang cucu. Direncanakanlah pesta pernikahan yang meriah oleh Papa Miriam. Dengan mengundang kaum kerabat, teman-teman Miriam dan juga teman-teman Papa dan Mama Miriam. Di kampung pun diadakan pesta untuk kedua mempelai tetapi hanya sebuah pesta kecil-kecilan.


                                                                            *********

        Beberapa tahun berlalu, Hamdan dan Miriam hidup berbahagia. Mereka dikaruniai buah hati yang sehat dan lucu. Sudah tiga orang anak mereka. Kehidupan ekonomi mereka terbilang bercukupan, lebih malah. Setelah menikah Hamdan membuka bengkel sendiri. Bengkel itu maju dan sukses. Sehingga ia membuka cabang di beberapa tempat.

        Miriam, seorang wanita yang cerdas namun memilih untuk tidak berkarier.  Ia memfokuskan waktunya merawat anak-anak yang masih sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya dan juga mengurus rumah tangganya.  Apalagi untuk urusan ekonomi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.


*********

        Suatu hari di tengah siang yang cerah, Hamdan bertemu dengan seorang teman lamanya, yang bernama Amran di salah satu bengkelnya. Amran ingin memperbaiki mobilnya yang lagi rusak. Hamdan sangat senang bertemu dengan karibnya itu. Mereka saling berpelukan melepas rasa kangen mereka.

        Mereka berbincang di kantor Hamdan yang mungil namun asri. Sesekali terdengar tawa kecil saat mereka mengenang kejadian tempo doeloe. Ketika mereka duduk di bangku SMA. Mereka sempat punya gebetan yang sama. Namun, gadis itu menolak  keduanya. Juga, kenangan ketika mereka mengerjai teman yang nampak cupu di mata mereka.

        Setelah lama berbincang, Amran bercerita bahwa ia mempunyai dua orang isteri. Namun, keduanya hidup rukun. Tak pernah ada cekcok antara dua isterinya itu. Mereka hidup bahagia.

        Bahkan kata Amran, isteri pertamanya itu yang mendorongnya menikah lagi. Soalnya, sekian lama mereka hidup berumah tangga belum dikaruniai momongan. Awalnya Amran tidak menggubris permintaan isterinya. Namun, lama-kelamaan Amran luluh juga mendengar permintaan isterinya. Ia pun menikah dengan seorang wanita yang dipilihkan oleh isterinya. Dan, akhirnya Amran memiliki keturunan lewat isteri keduanya itu. Kini anak mereka sudah lima orang.

        Menurut Amran, istri pertama dan keduanya, seperti laiknya kakak adik yang senantiasa saling membantu. Amran sangat bersyukur mempunyai dua orang bidadari dalam kehidupannya. Dan ia selalu berusaha untuk berlaku adil kepada kedua isterinya itu. Amran lalu mengatakan bahwa pendapat sebagian orang tentang praktek poligami tidak ada yang benar itu keliru. Tergantung siapa yang menjalaninya. Toh, sebagai pelaku poligami ia bisa berlaku adil kepada kedua isterinya. Buktinya, isterinya rukun-rukun saja.

         “Hamdan, Kamu tidak tertarik berpoligami juga?” tanya Amran. “Melihat usahamu yang lumayan sukses. Punya cabang di beberapa tempat, kamu kan mampu menafkahi dua bahkan tiga isteri.”
        “Hehehe...Boleh juga. Tapi, saya tidak mau menyakiti hati isteri saya,” jawab Hamdan sambil tersenyum.
        “Kalau memang isterimu paham agama, tentu ia mendukungmu, poligami kan sunnah nabi. Apalagi sekarang jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki,” ujar Amran memberi alasan.
        “Ah, sudahlah Amran, jangan kau ungkit masalah itu, saya tidak mau membahasnya,” tolak Hamdan.
        “Ok, kalau begitu, saya pamit dulu ya, bos. Saya mesti balik ke kantor dulu. Nanti kita ketemu lagi,” ujar Amran mengakhiri pembicaraan.

        Mereka bersalaman dan berpelukan mengakhiri reuni mereka siang itu. Amran telah berlalu. Namun, kata-kata Amran menyisakan riak-riak kecil di hati Hamdan. Ia kagum dengan Amran. Jika  dua benar, ia memiliki dua isteri dan mereka rukun-rukun saja. Karena kebanyakan isteri tua dan muda itu tidak akur. Banyak berita via media sosial tentang hal itu. Pun, pernah menyaksikan sendiri. Pertengkaran hebat antara dua wanita dengan suami yang sama.

        Perkataan Amran tentang kelayakannya untuk berpoligami terngiang-ngiang di telinganya. Apakah aku layak berpoligami? Ah, tidak. Tepis batinnya. Tidak mungkin aku menikah lagi. Aku mencintai isteriku. Jika aku minta izin menikah lagi, apakah ia akan setuju? Ah, tidak mungkin, ia setuju. Jika aku tetap menikah lagi tanpa persetujuannya, apakah itu tidak membuatnya sakit hati dan menderita? Ah, tidak mungkin, aku menyakiti isteriku. Hamdan mengembuskan nafas pelahan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

        Miriam, seorang perempuan yang sudah menemaniku sejak awal. Dulu, ia lebih memilihku, seorang pemuda miskin daripada pemuda kaya pilihan papanya. Dan kini, ia sudah memberi kami anak-anak yang sehat dan lucu-lucu. Perempuan yang sudah rela dan mengikhlaskan waktunya untuk mengurus aku dan anak-anakku. Padahal, ia bisa saja berkarier dan menggaji seorang baby sitter untuk mengurus anak kami, sementara ia pergi bekerja. Tapi, Miriam tidak melakukan hal itu. Ia memilih untuk merawat dan mengurus anak-anaknya sendiri, buah hati kami.

        Begitulah, di dalam hati Hamdan berkelindan pertanyaan dan jawaban yang silih berganti. Tentang posisi Miriam di hati dan kehidupannya. Dan kesimpulannya, ia memilih untuk tetap setia pada perempuan yang telah menjadi pendamping hidupnya selama ini.

        Hamdan singgah di sebuah toko seusai menghadap sang khalik di masjid dekat kantornya.  Entah apa yang dibelinya. Barang itu dibungkus kertas kado yang indah. Pun, tak lupa ia membeli beberapa kuntum bunga mawar. Mawar putih yang indah.


**********

        Miriam kaget melihat kedatangan suaminya. Yang tersenyum-senyum tidak seperti biasanya. Anak-anak segera berlari menyambut kedatangan ayahnya.

        “Ah, ada apa itu, senyum-senyum begitu?” selidik Miriam.
         “Tidak ada apa-apa kok, sayang,” ujar Hamdan, “nih, ada sesuatu untuk isteriku tercinta."
         “Wah, bunga mawar putih…cantik sekali. Terima kasih sayang, tapi ulang tahunku kan masih lama,” ucap Miriam merasa heran. “Ini ada lagi satu, apa yah?”
        “Buka saja, lalu lihat apa isinya?” ujar Hamdan tersenyum simpul.

        Miriam membuka kado yang berbentuk kotak itu. Matanya membulat indah, ketika ia membuka sampul kado itu dan melihat ada dua buah buku best seller di dalamnya. Miriam memang sangat suka membaca. Dari dulu ia punya hobi membaca. Bahkan  dijuluki kutubuku oleh teman-temannya di sekolah.

        Miriam amat bahagia mendapat kejutan dari suaminya. Hadiah yang ia tidak tahu dalam rangka apa suaminya memberikannya. Namun, ia bersyukur mempunyai suami yang baik dan penuh perhatian. Ia tidak tahu. Siang tadi, terjadi dialog batin dalam diri suaminya yang tak pernah terbayangkan oleh Miriam.

Sumber Gambar: http//pinterest.com

Sudah dipublikasikan di :www.sungaikenabian.com

Sabtu, 22 Februari 2020

Dimensi Keteladanan Fatimah Az-Zahra


Ibadah dan Peningkatan Spiritual Fatimah Az-Zahra

Saat ini kita hidup dalam era digital. Dimana dunia terasa dalam genggaman. Dunia ini bagaikan tak selebar daun kelor. Apa yang terjadi di belahan dunia lain, beberapa detik kemudian sudah terdengar di belahan bumi lainnya. Namun, di samping berbagai kemudahan yang dirasakan manusia, berbagai krisis kemanusiaan pun melanda manusia.

Bagi orang yang tidak memiliki teladan, tentunya sangat mudah baginya tertimpa krisis insani. Tidak bagi seorang yang berpatronkan wanita mulia, wanita termulia sejagat dan sepanjang masa, yaitu Fahimah Az-Zahra.

Ada beberapa dimensi keteladanan aplikatif Fatimah Az-Zahra yang jika kita meneladaninya akan mampu membentengi kita dari berbagai krisis kemanusiaan di era modernisasi dan globalisasi. Salah satunya adalah ibadah dan peningkatan spirual.

Dimensi kehidupan Fatimah Az-Zahra yang menyampaikan beliau ke maqam yang tinggi ialah kecintaan beliau as kepada ibadah. Tidak ada seorang pun yang meragukan ibadah beliau dari sisi kualitas dan kuantitas. Karena belau sangat menikmati pertemuannya dengan Sang Khalik.

Hasan Bashri, seorang ulama dan tokoh sufi dalam menggambarkan ibadah Sayyidah Fathimah as dan berkata, “Tidak aku temukan di dunia yang lebih abid dari Fathimah as. Beliau beribadah hingga kakinya membengkak.”

Pada malam pengantin, Imam Ali as melihat Fatimah Az-Zahra dalam keadaan khawatir dan sedih. Beliau menanyakan sebabnya. Fatimah Az-Zahra menjawab, “…Perpindahan dari rumah ayah menuju rumahku yang baru mengingatkanku akan perpindahanku ke alam kubur. Demi Allah, aku mohon kepadamu marilah kita dirikan salat dan beribadah kepada Allah malam ini.”

Fatimah Az-Zahra mengajarkan kepada kita agar senantiasa berhubungan dengan Allah SWT dalam segala kondisi. Terkhusus di zaman modern ini ketika banyak orang mengalami krisis spiritual.

Kendati bergelimang harta, kehidupan terasa gersang. Ketenangan dan kebahagiaan tidak mereka rasakan. Karena, ketenangan dan kebahagiaan tidak bisa diperoleh dengan harta semata. Namun, hanya bisa didapatkan dari hubungan dengan Sumber Ketenangan yaitu Allah SWT.

Seperti termaktub dalam Firman Allah SWT:

Dan dirikanlah salat untuk mengingatku..."
(QS. Thohah: 14)

Dan :

"Ketahuilah bahwasanya mengingat Allah akan membawa ketenangan jiwa.”
(QS. Al Raad : 28)

Kenikmatan dan ketenangan rohani akan didapat dengan senantiasa menjalin dengan Allah SWT. Dan, hal itu tak dapat diganti dengan yang lain.

Agar ketenangan dan kedamaian jiwa bisa kita dapatkan, kita hendaknya berusaha khusyu dalam menjalin hubungan dengan Allah SWT. Lebih dari itu, kita juga dapat mencicipi kenikmatan dari ibadah itu sendiri sebagaimana yang telah diajarkan Fatimah Az-Zahra.

Jika hati dan pikiran Fatimah Az-Zahra khusyu di hadapan kebesaran Allah SWT, semua ikatan dunia dan materi termasuk kecintaan pada kekerabatan seakan terputus darinya. Saat beribadah, rohnya seolah-olah terbang tinggi, sampai Allah mengutus malaikat untuk menggerak-gerakkan ayunan putra-putra beliau yang masih kecil agar tidak terjaga dari tidurnya.”

Sebuah riwayat yang menggambarkan kenikmatan ruhani dan spiritual Fatimah Az-Zahra, bahwa Rasulullah SAW berkata:
“Wahai putriku, apa yang Engkau inginkan? Sekarang Jibril as ada bersamaku. Dia membawa pesan bahwa Allah SWT akan memenuhi semua yang Engkau inginkan.”

Putri Rasulullah SAW menjawab, “Kenikmatan menghadap-Nya mencegahku untuk meminta sesuatu yang lain. Keinginanku hanyalah agar aku senantiasa menghadap dan menatap kegungan-Nya,”

Peningkatan spiritual pun dapat dilakukan dengan senantiasa berusaha bersama Al Qur’an. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Fatimah Az-Zahra. Kebersamaan Fathimah dan Al Quran  menjadi contoh  para muslimah bahwa di era ini , berpegang teguh pada Al Qur’an akan menjadi penyelamat kita dari kegersangan rohani.

Dalam riwayat disebutkan bagaimana Fatimah Az-Zahra, detik demi detik dan dalam kondisi apa pun senantiasa bersama Al Qur’an. Salman Al Farisi, seorang sahabat Rasulullah SAW  berkata, ”Suatu hari aku disuruh Rasulullah SAW untuk pergi ke rumah Fatimah. Saat aku sampai ke rumahnya kudengar dia tengah membaca AL Qur’an.”

Dalam riwayat lain, Salman berkata, “Suatu hari aku masuk ke rumah Fathimah, aku melihat dia tengah menumbuk gandum dan sambil membaca Al Qur’an.”

Fatimah Az-Zahra pun berwasiat kepada suaminya, Imam Ali, agar pada malam pertama sepeninggalnya banyak berdoa dan membacakan al Quran untuknya.

Waktu-waktu Fatimah Az-Zahra senantiasa diisi dengan lantunan ayat-ayat Al Quran, sehingga pelayan beliau, Fidhdhah Hindi, menjadi penghafal dan menguasai Al Quran. Karena, hari-harinya ia selalu mendengar majikannya, Fatimah Az-Zahra melantunkan ayat-ayat suci al Quran dan itulah yang membuat Fidhdhah hafal al Qur’an.

Tidak sampai di situ, Fidhdhah pun, pasca wafatnya Fatimah Az-Zahra tidak pernah berbicara kecuali dengan  ayat-ayat al Quran. Cahaya al Quran telah membuat seorang pelayan menjadi perempuan yang agung.  Berkat kedekatan majikan dengan al Quran, lahirlah perempuan yang luar biasa, seperti Fidhdhah.

Para muslimah pasti dapat berkaca bagaimana dekatnya Fatimah Az-Zahra dengan al Quran. Hari-harinya senantiasa dipenuhi dengan kalam Ilahi. Karena itu, sudah selayaknya kita meneladani kehidupan beliau agar menjadi sahabat dekat kita.

Al Quran tidak hanya sebatas pajangan berdebu yang ada di dalam almari rumah kita. Jangan sampai Al Quran mengadukan perlakuan kita padanya karena kita telah membuatnya terasing.

Bukan hanya semangat memperbarui status atau membaca berita-berita yang ada di media sosial, kita pun harus semangat meng-update bacaan dan pemahaman tentang al Quran. Al Qur’an menjadi teman dalam suka dan duka.

Bukan hanya “one day one status”, yang rutin dalam berfacebook. Minimal “one day one ayat” kita jadikan program harian kita. Alhamdulillah, kalau bisa “one day one juz”. Tiap ayat al Quran yang kita baca akan memberikan ketenangan dan pesan positif bila kita merenungkannya.

Sumber : Buku Muslimah Idol, Napak Tilas Kehidupan Para Perempuan Teladan, karya Euis Daryati, M.A. Hal 108-112

Gambar : http://idhe-purnama.blogspot