Di media sosial, dalam hal ini facebook, sangat ramai
nitizen menshare berita ini. Ketika nitizen membagikan berita pembunuhan ini,
banyak yang menyumpah-nyumpahi sang lelaki. Ada yang bilang, si lelaki mau
enaknya tapi tidak mau anaknya. Yang lain, berkomentar, biadab ini si lelaki,
hukum seberat-beratnya. Dan untuk si perempuan, banyak yang mendoakan
almarhumah semoga husnul khotimah, ada yang bilang masuk surgaKi Nak. Tapi ada
juga yang berkomentar bahwa si perempuan tidak bisa menjaga kehormatannya. Lalu
ada yang memberi emoticon menangis
buat si perempuan, dan marah buat si lelaki. Berbagai macam tanggapan nitizen
dalam merespon berita pembunuhan ini.
Pembunuhan itu terjadi karena si lelaki merasa panik,
sang perempuan meminta tanggung jawab darinya karena perempuan itu sudah
berbadan dua. Kehamilannya yang sudah empat bulan membuat si perempuan kalut.
Perutnya akan semakin membesar. Rasa malu menyelimuti dirinya jika orang lain
tahu akan kehamilannya. Bagaimana menghadapi pandangan mata orang lain yang
tertuju kepada perut buncitnya. Bukankah ia belum menikah?
Perasaan bersalah pun menghinggapi dirinya. Mengapa
ia bisa melakukan hubungan yang hanya pantas dilakukan oleh sepasang suami
isteri? Mengapa ia bisa membiarkan dirinya hamil? Bagaimana menghadapi dan
memberitahu kedua orang tuanya tentang kehamilannya itu? Rasa bersalah, malu
dan takut menghinggapi dirinya. Itu tercermin dari puisi yang dipostingnya
lewat instagram.
Beberapa hari setelah memposting puisi sedih itu. Ia
ditemukan tak bernyawa di Perumahan Tamangapa. Ia mati di tangan pacarnya ketika
ia berusaha meminta tanggung jawab dari sang pacar. Orang yang sudah menanamkan benih di rahimnya.
Tapi, sayang si lelaki rupanya belum sanggup menghadapi keluarga sang
perempuan. Ia takut menghadapi keluarga besar si perempuan. Dan menolak untuk
bertanggung jawab pada saat itu.
Si perempuan makin kalut melihat respon penolakan
dari sang pacar. Ia mengambil telepon genggamnya.
Ia bermaksud menghubungi orang tuanya di kampung. Untuk memberitahu mereka
tentang kehamilannya. Sang laki-laki merebut handphone si perempuan. Ia mengancam, kalau si perempuan menelpon
orangtuanya, ia yang mati atau sang perempuan yang mati. Si perempuan menantang
dengan berkata, “Kalau begitu bunuhma pale, daripada menanggung malu, bunuhma!!” Mendengar pacarnya
berkata begitu, ia kemudian mengambil bantal dan menyumpal mulut si pacar yang
lagi terbaring di atas tempat tidur. Ketika si perempuan tengah sekarat, si
lelaki ke dapur mengambil pisau berkarat untuk menggorok leher si perempuan. Lepaslah
nyawa dari raga si perempuan.
Beberapa jam kemudian, sepupunya menemukan si
perempuan dalam keadaan tak bernyawa lagi. Lehernya sampai ke punggung
bersimbah darah. Seketika gegerlah warga saat itu. Pacarnya, ikut di kerumunan
ingin turut berbela sungkawa. Namun, ia kemudian ditangkap melihat gelagatnya
yang mencurigakan. Setelah dinterogasi di kantor polisi, ia mengaku bahwa dialah
pembunuhnya.
Peristiwa yang tragis dan menyedihkan. Di mana nyawa harus
melayang sia-sia. Masa depan yang hancur seketika. Bagaimana besarnya harapan orang tua yang
menyekolahkan mereka. Bekerja keras untuk membiayai pendidikan dan kehidupan
mereka di kota. Mungkin juga mereka sudah menjual asset mereka di kampung, seperti
sawah atau kebun demi menyekolahkan mereka. Dengan harapan, nanti seusai kuliah
anak mereka bisa bekerja dan sukses.
Pastilah, harapan orang tua mereka kini hancur
berkeping-keping. Bagi orang tua si perempuan yang terbunuh, mereka menderita
kehilangan sekaligus harus menanggung rasa malu. Anak gadisnya hamil tanpa
nikah. Bagi orang tua si lelaki, mereka harus menderita malu akibat perbuatan
anaknya yang telah menghamili dan membunuh anak gadis orang. Sekarang anak
mereka pun harus berhadapan dengan hukum. Untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Entah, berapa tahun penjara kini menanti anak mereka.
Pelajaran yang sangat mahal. Terutama untuk orang tua
yang menyekolahkan anaknya jauh dari pantauannya. Juga bagi anak mereka yang
masih menempuh pendidikan di bangku sekolah atau kuliah. Di mana sebagian besar
belum mau menikah atau belum diijinkan menikah. Sebelum selesai menempuh
studinya.
Padahal di usia seperti mereka, sudah pantas
untuk menikah. Di mana dorongan untuk menyalurkan kebutuhan biologis sudah cukup besar.
Sedikit sentuhan saja bisa menyebabkan timbulnya rangsangan pada makhluk
berlainan jenis itu ketika sementara berduaan. Membiarkan diri larut dalam
berpacaran, membuat segala yang tidak pantas dilakukan menjadi tampak
wajar-wajar saja. Apalagi jika setan pun sudah turut terlibat.
Bahwa berteman dengan siapa saja itu wajar. Namun, kalau lebih dari itu. Katakanlah, pacaran. Hal itu bisa mendatangkan malapetaka. Apalagi kalau gaya berpacarannya gaya bebas, bebas pegangan, memeluk, mencium dan bebas masuk ke kamar kos pacarnya. Maka dari itu wajar kiranya jika ada yang mengharamkan pacaran. Bahwa, pacaran itu adalah suatu jalan menuju zina.
Bahwa berteman dengan siapa saja itu wajar. Namun, kalau lebih dari itu. Katakanlah, pacaran. Hal itu bisa mendatangkan malapetaka. Apalagi kalau gaya berpacarannya gaya bebas, bebas pegangan, memeluk, mencium dan bebas masuk ke kamar kos pacarnya. Maka dari itu wajar kiranya jika ada yang mengharamkan pacaran. Bahwa, pacaran itu adalah suatu jalan menuju zina.
Padahal Allah SWT sudah mewanti-wanti melalui
firman-Nya :
Dan janganlah kamu mendekati
zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk. (QS Al-Israa’: 32)
Dan Rasulullah SAW bersabda :
“Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita,
karena sesungguhnya setan menjadi orang ketiga di antara mereka.” (HR. Ahmad)
Namun, sebagian manusia tidak menghiraukan larangan
Tuhan dan Nabi-Nya. Padahal larangan itu untuk kepentingan manusia sendiri. Niscaya
di balik larangan Tuhan ada hikmahnya. Pendapat bahwa tidak apa-apa pacaran
yang penting pacaran Islami, itu bisa
menjerumuskan. Mana ada pacaran yang Islami. Kecuali pacaran sehabis nikah
tentunya. Kalau ada orang mengaku saling cinta dan berpacaran, kebanyakan ujung-ujungnya
khalwat, berlanjut ke syahwat akhirnya jadi gawat.
Bagaimana tidak gawat? Kita bisa bercermin dari
peristiwa tragis yang menimpa sepasang muda-mudi itu. Dan masih banyak kejadian
lainnya yang diakibatkan oleh pacaran yang kebablasan. Seperti bayi yang baru
lahir dicekik oleh ibunya sendiri. Kemudian dibuang di tempat sampah. Karena sang
ibu malu memiliki anak tanpa suami. Sebenarnya dalam pergaulan bebas, perempuanlah
yang lebih banyak menderita. Karena perempuanlah yang hamil dan merasakan langsung
akibat dari kehamilannya. Kehamilan di luar nikah itu merupakan aib yang sangat
besar.
Bayangkan sekelas Ibunda Maryam as sendiri, yang mendapat
bimbingan dan petunjuk dari-Nya, ketika hamil dalam kesendirian tanpa ada yang
menemani, berada di padang pasir Sahara yang gersang dan jauh, tanpa ada
makanan dan minuman sempat mengharapkan kematian sebelum semua kesulitan terjadi.
Dalam Surah Maryam ayat 23, Bunda Maryam as berkata, “…Andaikan aku mati sebelum ini, dan aku termasuk orang yang dilupakan.”
Begitulah yang terekam dalam lembaran firman-Nya, betapa
beratnya hamil tanpa suami dan betapa beratnya tuduhan yang akan dialamatkan
pada Bunda Maryam. Padahal ia seorang perawan suci. Tidak ada seorang laki-laki pun yang pernah
menjamahnya. Sehingga sempat terucap kata-kata dari mulut seorang hamba yang terkenal
keteguhannya, seperti itu. Bagaimana dengan kita, yang manusia biasa. Hamil
tanpa suami karena melakukan pergaulan bebas, melakukan hubungan seks di luar
nikah. Apa kata dunia? Betapa memalukannya!! Begitulah beban berat seperti
menghimpit kehidupan wanita yang hamil di luar nikah. Tindakan yang irrasional
bisa saja dilakukannya. Apalagi kalau laki-lakinya tidak mau bertanggung jawab.
Duhai alangkah malangnya….
Dalam budaya Sulawesi Selatan, menurut Sugira
Wahid, lewat bukunya Kearifan Adat Istiadat Makassar, terdapat istilah sirik na pacce dalam bahasa Makassar
atau Sirik na pesse dalam bahasa
Bugis. Kata Sirik yang secara harfiah
berarti malu, juga berarti kehormatan. Rasa dan nilai kehormatan ini ditanamkan
dalam diri pribadi dalam setiap anggota keluarga. Seseorang harus menjaga
kehormatan dan nama baik keluarganya. Perempuanlah yang menjadi lambang
kehormatan keluarga. Kata pacce/pesse secara
harfiah berarti pedih. Dengan sikap hidup berdasar pacce/pesse ini, masyarakat mengembangkan sikap berperikemanusiaan
yang tinggi.
Hamid Abdullah dalam bukunya, Manusia Bugis Makassar,
mengutip sebuah ungkapan Bugis yang berbunyi: Parakai Sirikmu, nasaba siriemmi rionroang ri lino, narekko de gaga sirik taniyani tau, yang
berarti: Jagalah sirikmu (kehormatan, harga diri) karena hanya sirik kita hidup
di dunia, dan bila sirik sudah tiada, kita bukan lagi manusia.
Dalam masa kiwari ini sepertinya terjadi pergeseran
nilai. Nilai budaya yang dipegang erat kini sudah mulai luntur. Budaya sirik
atau malu mulai pudar. Bahkan dalam peristiwa di atas, baik perempuan maupun laki-laki
sudah melanggar budaya sirik na pacce/pesse. Dengan berpacaran, sirik atau malu sudah lenyap dalam kamus
mereka. Masirika/siri-sirika yang
berarti saya malu, adalah sebuah istilah yang bersifat membatasi perbuatan
seseorang dalam suatu hal. Dengan berpacaran, si perempuan gagal menjaga
kehormatan dirinya, padahal menurut budaya, perempuanlah yang menjadi lambang
kehormatan keluarga. Dan ia tidak memikirkan kepedihan orang tuanya jika ia
hamil di luar nikah. Dan ketika semua sudah terjadi, ia baru merasa sirik-sirik
(malu). Di samping itu, ia sudah appakasirik
(mempermalukan) keluarganya. Itulah mengapa ia merasa kalut, tercermin dari
puisinya yang viral di medsos.
Demikian pula si lelaki, ia sudah appakasirik, baik keluarga besar
perempuan maupun keluarga besarnya sendiri. Karena sudah menghamili anak gadis
orang. Makanya, ketika sang perempuan menuntut tanggung jawabnya dan mau
memberitahukan kondisi kehamilannya kepada orang tua si gadis. Ia menolak. Ia
beranggapan jika keluarga besar perempuan tahu bisa fatal akibatnya. Bisa saja
keluarga perempuan marah. Dan mencari dia demi membalas perbuatannya. Dan nyawa
taruhannya. Karena martabat dan harga diri keluarga perempuan sudah
diinjak-injak oleh si lelaki. Urita sang anak hamil di luar nikah itu mudah dan
cepat sekali berembus bisa membuat martabat keluarga ternoda di masyarakat. Namun
ketakutannya berakibat lebih fatal lagi, menghilangkan nyawa sang kekasih untuk
menutupi kebejatannya.
Melihat maraknya kasus yang menimpa generasi muda,
utamanya mengenai freeseks, atau
hubungan seks di luar nikah, solusinya adalah orang tua perlu memahami kondisi
anaknya. Jika anaknya sudah mempunyai tambatan hati dan mulai menjalin hubungan
spesial alias berpacaran. Sebaiknya anak mereka dinikahkan saja. Walaupun masih
menempuh pendidikan. Ya, pernikahan menjadi salah satu solusi yang bisa
menyelamatkan generasi muda kita dari pergaulan bebas. Setelah menikah, mereka
bisa menunda untuk mempunyai anak. Sampai mereka selesai menempuh
pendidikannya.
Mungkin agak berat. Mengingat adanya budaya uang
panai di kalangan masyarakat. Uang panai
yang tinggi terkadang menjadi persoalan yang cukup pelik. Bahkan terkadang
menjadi penghalang terjadinya suatu pernikahan. Namun, demi kebaikan bersama,
uang panai tidak semestinya menjadi penghalang.
Gambar : https://konsultasisyariah.com/8657