Selasa, 23 Januari 2018

Resume Buku

Resume Buku "Free Writing, Mengejar Kebahagiaan dengan Menulis"



Penulis        : Hernowo Hasim
Penerbit      : Bentang Pustaka
Cetakan       : Pertama, November 2017
Jumlah hal. : ××ii -215

Empat pilar komunikasi
1. Reading (Membaca)
2. Speaking (Berbicara)
3. Listening (Mendengar-Menyimak)
4. Writing (Menulis)

Membaca adalah memasukkan kata-kata dalam diri atau pikiran.
Sering membaca kita akan memiliki perbendaharaan kata yang kaya dan beragam.

Kita tidak akan memiliki kata-kata yang kaya jika kita tidak mau dan mampu membaca yang akan berguna nantinya pada waktu kita berkomunikasi atau menulis nantinya. Berbicara di depan umum tersendat-sendat, tidak lancar, akan banyak berhentinya. Demikian pula ketika kita menulis.

Ketika membaca sebaiknya membaca lantang (tetapi lihat dulu sikonnya) karena akan meningkatkan kemampuan komunikasinya. Mengapa?
Karena kedua telinga menyimak secara saksama (aktif listening).

Adapun efek membaca lantang :
1. Cermat memperhatikan susunan kalimat, kata aneh atau sulit dieja dan juga tanda-tanda baca.
2. Dapat merasakan irama membacanya (apakah irama bagus atau sangat buruk atau terbata-bata), tidak enak didengar, telinga lahir mampu mendeteksinya.

Itulah mengapa membaca lantang bisa meningkatkan kemampuan komunikasi.

Membaca ngemil (sedikit) dibarengi dengan membaca lantang dengan irama pembacaan yang dapat didengar oleh telinga lahir, si pelaku kemudian mengikat (menuliskan) pengalaman membacanya. Dan memperoleh gagasan dari apa yang dibacanya.

Kegiatan writing (menulis) adalah penutup yang sempurna dari rangkaian pilar komunikasi ini yang oleh pak Hernowo disebut konsep mengikat makna.

Writing atau menulis adalah mengeluarkan, mengungkapkan atau menyimpulkan pikiran dengan bantuan kata-kata.

Untuk melatih kita dalam menulis, kita bisa melakukan "free writing".
Free writing adalah menulis bebas, membuang pikiran secara blak-blakan. Dengan free writing, menulis menjadi nyaman dan menyenangkan. Kita tidak merasa risau dengan apa yang ditulis.

Menurut Radar Panca Buana :
Menulis bebas adalah disiplin kecil untuk tiap hari menulis tanpa henti. Bukan untuk menghasilkan tulisan yang bagus, melainkan sekedar menulis tanpa prosedur sensor dan editing.
Satu-satunya aturan adalah jangan berhenti menulis.

Penerapan free writing :
- 10 hingga 15 menit setiap hari selama sebulan. Dan seterusnya hingga terbiasa menulis.
- Menulis tanpa diedit selama proses penulisan berlangsung.

Dampak signifikan Free Writing adalah peningkatan kemampuan menulis apabila dilakukan secara terus menerus dan konsisten dalam waktu yang cukup lama.

Jadi kunci keberhasilan free writing adalah pembiasaan.

Bagaimana kalau kita merasa bosan ketika menerapkan free writing?
Ketika sudah terbiasa, kita akan merasa ada yang kurang ketika kita tidak menulis. Sekadar menulis pun sudah seperti dalam surga. Rasanya bahagia.

Ketika kita menulis, kita telah membuka fikiran, mengalirkan fikiran dan merangkai fikiran melalui huruf, kata dan kalimat yang tidak bermaknapun sudah merupakan kebahagiaan.

Kredonya :
Keep your hand (gerakkan saja tangan). Alirkan saja pikiran tanpa kita harus berpikir yang berat. Rasakan kebahagiaan dan rasakan kenyamanan ketika mengalirkan pikiran.

🌹Resume oleh Hamsinah Hamid 🌹

Sabtu, 13 Januari 2018

KRISIS MELANDA HIMPUNAN



Dalam suatu perbincangan dalam grup WA, terbetiklah beberapa komentar mengapa terjadi krisis di HMI.  Melihat kasus yang terjadi  bahwa kader  baru tidak merasa nyaman aktif di HMI.  Mereka  anak-anak seorang senior  yang menitipkan anaknya di HMI untuk dibina. Seorang teman, Alam mengatakan  salah satu masalahnya adalah bahwa terjadi mainstream  mazhab di dalam tubuh HMI MPO  Makassar. Namun ada seorang senior  kohati, Mbak Ning  yang mengatakan bahwa ketidaknyamanan itu mungkin dikarenakan faktor anak itu sendiri.  Bahwa tidak mungkin seorang anak diawasi selama 24 jam. Mungkin mereka tidak merasa cocok dengan kultur HMI yang islami.

Seorang senior, Kanda Amir mengatakan  masalah mazhab bisa dituntaskan di follow up. Kader perlu belajar tentang berbagai mazhab dalam tubuh Islam. Penjelasannya cukup rinci tentang penganut berbagai mazhab dengan penyebarannya di berbagai belahan dunia.  Senior kohati, Ina mengatakan tidak masalah ketika terjadi mainstream mazhab selama bisa merangkul yang lain. Menghormati mazhab yang lain. Bukankah HMI adalah rumah besar bagi semua. Itulah mengapa penghuninya merasa nyaman.  Alam menyangkalnya karena faktanya mengatakan lain.  Katanya, itulah mengapa dia dan beberapa teman yang lain hengkang dari grup alumni karena HMI  kewahabi-wahabian dan HMI MPO keDIPO-DIPOan. Ina mengatakan hal-hal seperti itu memang harus diungkapkan agar bisa diketahui faktor-faktor apa saja yang bisa menyebabkan minggatnya seorang kader dari Himpunan. Lyana turut berkomentar, seorang kader sah-sah saja merasa tidak nyaman dalam sebuah organisasi dan menjadi haknya dia untuk meninggalkan organisasi.

Senior kohati, Ina mengatakan bahwa memang tidak masalah ketika organisasi dalam keadaan baik-baik saja tetapi berbeda kalau organisasi dalam kondisi kritis. Tentu kita perlu mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan anggota merasa tidak nyaman berada dalam sebuah himpunan. Mungkin pendekatan terhadap  kader perlu ditinjau kembali. Kita tidak boleh menuntut hasil secara instan. Biarkan mereka berproses.

Beberapa hal penyebab mundurnya HMI MPO khususnya di cabang Makassar, menurut pengamatan penulis adalah :

Pertama, Tidak adanya HMI CENTRE, Pikiran pengurus terporsir cukup besar untuk memikirkan pengadaan sekretariat setiap pergantian pengurus. Padahal tenaga dan pikiran pengurus bisa untuk penguatan lembaga dan pembinaan kader jika HMI Centre sudah ada.

Kedua, Adanya dualisme kepemimpinan, menjelang Pilpres 2014, yaitu di bawah kepemimpinan Hamzah Rakhabau dan Najamuddin Arfah. Kemudian menyatu kembali. Tetapi, kader terlanjur bingung.

Ketiga, Ketua Cabang periode 2016-2017 mengundurkan diri. Praktis kegiatan-kegiatan di cabang mandek.

Keempat, Pendekatan terhadap kader baru mungkin kurang relevan. Sistem doktrin dengan hasil instan. Perlu ditinjau kembali.

Kelima, Mainstream mazhab yang dominan. Cenderung mencurigai dan menafikan mazhab lain. Hal ini mengabaikan  pluralitas dalam tubuh HMI. Sesuatu yang bertentangan dengan Khittah Perjuangan HMI.

Kita tidak perlu mencari kambing hitam  penyebab kemunduran HMI khususnya HMI MPO Cabang Makassar. Tetapi, kita tidak bisa selalu membela diri dan menutup mata atas fakta yang terjadi di HMI. Yang terpenting sekarang adalah apa solusi terhadap permasalahan ini. Sehingga HMI cabang Makassar bisa bangkit. Dan jaya seperti dahulu kala. Yakusa.

Tabrakan di Barandasi

12 Januari 2018

Pukul 11.58 Wita. Alhamdulillah, kami tiba dengan selamat di Tonronge. Dalam perjalanan dari Makassar menuju Barru, terjadi kecelakaan di Barandasi, Maros. Tidak jauh dari persinggahan mobil. Tempat membeli oleh-oleh. Kami sempat singgah di tempat itu, sekedar membeli oleh-oleh ala kadarnya untuk anak di pondok.

Beberapa meter dari tempat itu, setelah mobil jalan, tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah mobil Triseda ingin berbelok arah. Triseda itu tampak miring meluncur dengan derasnya. Kendaraan itu tampak oleng.

Saya bilang, "Iiih natabrak maki, Aba. Natabrak maki." Saya tutup mata. Kupikir Triseda itu akan menabrak kendaraan kami. Tapi, tiba-tiba ada mobil Panther melaju dengan kencangnya di samping kendaraan kami. Mobil itulah yang dihantam Triseda itu.

Kusangka mobil Panther itu juga akan oleng dan mengenai kami. Karena kerasnya tabrakan itu. Sampai-sampai Triseda itu melayang, terhempas dan terbalik. Bannya terlempar. Ada serpihan Triseda mengenai kendaraan kami. Dan pengendara mobil beroda tiga itu berdarah-darah kepalanya.

Mobil Panther yang tertabrak tetap melaju dalam keadaan rusak. Sisi kiri badan mobil berlubang. Mobil kami menepi dan terlihat dari jauh mobil itu juga berhenti. Sepertinya, pengemudinya orang yang bertanggung jawab.

Kami melanjutkan perjalanan, setelah pengendara Triseda diantar ke rumah sakit oleh kerabatnya. Seorang sopir pete-pete yang menghentikan kendaraannya. Dan menurunkan para penumpangnya melihat kejadian itu.

Selama perjalanan, jantung berdebar, badan terasa loyo. Masih sangat jelas terbayang peristiwa tadi.

Puji syukur ke hadirat Allah, yang telah melindungi perjalanan kami.
Semoga kami selalu dalam perlindungan-Nya..aamiin..
Allohumma sholli ala Muhammad wa ali Muhammad..

Apresiasi dan Kritik Buku

Napoleon Bonaparte Seorang Muslim yang Berasal dari Makassar-Indonesia


Sudah sejak lama muncul dalam perbincangan  sambil lalu  atau sekedar candaan jikalau Napoleon Bonaparte itu aslinya adalah orang Indonesia, tepatnya dari Makassar. Buktinya, lagi-lagi, hanya sekedar melihat namanya belaka.  Kaisar hebat ini bernama Napo Daeng Liong bin Bora Daeng Irate, Napoleon Bonaparte. Mirip sekali memang. Tidak lebih dari itu. Selesai.

Cocoklogi tersebut akhirnya membuka ruang diskusi baru sekaligus semakin meluas ketika  buku  yang berjudul “Napoleon Bonaparte ternyata seorang Muslim, Diduga Ia berasal dari Makassar”  terbit tahun 2012 lalu, yang baru juga kami  dapatkan di penghujung tahun 2017.

Di bagian awal buku setebal 139 halaman ini, bab 1, 2 dan 3, secara umum mengulas  tentang kondisi dunia  abad ke-17  hingga abad 18, era dimana Napoleon dilahirkan, sepak terjangnya dalam  militer Perancis, pengangkatannya sebagai kaisar hingga kejatuhannya, termasuk kehidupan asmaranya dengan beberapa wanita. Ulasan semacam ini lazim ditemukan dibanyak buku sejarah, yang boleh jadi, mayoritas pembaca cenderung mengabaikan bagian-bagian ini. Tentu saja karena kita jauh lebih penasaran ingin membaca  bagaimana bisa panglima  besar ini, yang berada di urutan ke- 34   tokoh paling berpengaruh di sepanjang sejarah,  bisa menjadi seorang muslim dan asal usulnya dari Makassar, Indonesia.

Akhirnya tibalah di intisari buku ini, bab 4, 5 dan 6. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar mengapa Napoleon diduga berasal dari Makassar. Pertama, konon  Sultan Hasanuddin  memiliki keturunan bernama  I Yandulu Daeng Mangalle, yang  pergi ke Siam (Thailand) bersama pengikutnya,  setelah kekalahan kerajaan Makassar pasca perjanjian Bongaya, dan mendapat suaka di sana. Kemudian Daeng Mangalle bersama adik raja Siam terlibat dalam rencana pemberontakan untuk menjatuhkan tahta Raja Narai. Sayang rencana tersebut terlanjur bocor. Meski ada peluang pengampunan dari raja, tapi Daeng Mangalle dan pengikutnya tidak menyerah hingga terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang dimenangkan oleh pihak kerajaan. Meskipun sedikit, pasukan Makassar ini dikatakan hampir menguasai kerajaan karena semangat tempurnya yang tak kenal mundur. Inilah yang membuat kagum tentara Perancis yang mengetahui peristiwa ini. Lantas dua putra I Yandullu Daeng Mangalle  diampuni oleh raja Siam kemudian keduanya dibawa menetap di  Perancis bahkan keduanya dimasukkan ke akademi tentara di Perancis.  Mereka berdua kemudian berganti nama, Daeng Ruru berganti nama menjadi Louis Pierre de Macassart, yang kedua Daeng Tulolo menjadi Louis Dauphin.  Mereka  inilah yang dianggap melahirkan sang tokoh besar Napoleon Bonaparte.

Kedua, dari segi fisik, Napoleon memiliki ukuran tubuh yang  relatif kecil. Ia lebih mirip orang Makassar pada umumnya,  dibandingkan  orang-orang Eropa lainnya yang bertubuh tinggi. Ketiga, lambang ‘sakral’ Perancis berupa ayam jantan, konon katanya diinspirasi  kepahlawanan Sultan Hasanuddin yang bergelar  ayam jantan dari Timur. Barangkali yang paling mudah dilihat adalah  logo ayam yang tersemat di bagian dada  baju kesebelasan Perancis.

Lantas bagaimana Napoleon menjadi muslim ini diungkap dalam harian resmi Prancis, Le Moniteour Universal (terbit dalam kurun waktu 1789-1868). Disebutkan bahwa Napoleon  resmi menjadi Muslim  pada 1798. Kutipan berita inilah  yang kemudian dimuat dalam buku Satanic Voices – Ancient and Modern karya David Musa Pidcock  tepatnya pada halam 61.

Buku Pidcock ini terbit pada 1992, demikian tulisan yang dikutip media.isnets.org. pidcock juga menuliskan bahwa Napoleon memilih nama Ali sebagai nama barunya, sehingga menjadi Ali Napoleon Bonaparte.

Napoleon disebut-sebut mengakui superiotas hukum Islam, bahkan berniat menerapkannya  dalam kekaisarannya di Perancis.  Prinsip-prinsip  syariah itu sempat dimasukkan ke dalam Civil Code Napoleon atau hukum  yang ditulis  oleh Napoleon. Kode Napoleon ini kemudian menginsipirasi  konstitusi Perancis  dan konstitusi negara-negara taklukan Napoleon di Eropa.

Kritik
Sudah barang tentu buku ini patut diapresiasi. Serpihan-serpihan  ide dan tulisan yang berserakan  bisa berwujud buku yang manis seperti ini merupakan hasil kerja keras, ketekunan dan semangat dari penulis, apalagi temanya sangat unik dan langka.

Sayang sekali buku ini tidak memberi porsi penjelasan yang luas dan mendalam  pada tema pokok buku ini, yaitu  bagaimana  menelusuri riwayat  Napoleon benar-benar berasal dari Makassar. Buku setebal 138 halaman ini, hanya memberi ruang tidak lebih dari 5 halaman penjelasan tentang bagaimana Napoleon berasal dari Makassar. Ada keterputusan atau gap  riwayat  yang tidak disebut dalam buku ini, dari Daeng Ruru (Louis Pierre de Macassart) atau Daeng Tulolo (Louis Dophin) ke Napoleon Bonaparte. Para sejarawan Perancis dan dunia pun, sejauh ini, tidak ada yang membahas secara khusus tentang asal usul Napoleon yang berbeda dengan sejarah yang umum ditulis.
Sangat berbeda, misalnya, dengan Tun Abd Razak, perdana menteri pertama Malaysia, yang memiliki silsilah yang lengkap hingga ke Karaeng Sanrobone, Putra Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin. Atau dr. Wahidin Sudirohusodo yang memiliki riwayat  hingga ke Karaeng Naba, yang ikut terlibat membantu Trunajoyo dalam memerangi kompeni Belanda. 

Terkait riwayat Napoleon tersebut, tepatlah jika penulis buku ini memberi judul “......diduga dari Makassar”, karena memang hampir semuanya bersifat perkiraan belaka. Menganggap Napoleon berasal dari Makassar, jauh lebih  misteri  dibandingkan pendapat yang mengatakan bahwa Hang Tuah, bernama Makassar—Daeng Merupawah,   itu berasal dari kerajaan Bajeng, Gowa, yang dikisahkan dalam Babad Tanah  Melayu.

Mengenai keislaman Napoleon, memang, banyak sudah diungkap oleh media-media yang kredibel bahkan dari Perancis sendiri. Tapi yang luput diketengahkan oleh penulis, sebagai temuan di sisi lain, bahwa Napoleon justru dikatakan hanya ingin menarik simpati dari kalangan umat Islam di tengah kedudukannya yang mulai tertekan, terutama di Mesir dan India dalam menghadapi seteru besarnya yaitu Inggris.

Sangat disayangkan pula, buku ini hanya mendasarkan referensinya pada situs online saja. Di bagian daftar pustaka, tidak ada satu pun buku referensi yang dicantumkan. Pun, banyak referensi yang dikutip menggunakan hasil terjemahan yang masih kacau, hingga sulit dipahami bahkan keluar dari makna yang awal yang dimaksudkan, boleh  jadi karena sebagian masih menggunakan mesin terjemahan.

Oleh :

Rajab Sabbarang Daeng Nuntung
(Penggiat Rumah Baca Smart  & Cool)